Sidoarjo//suaraglobal.co.id – Lembaga Pendidikan (sekolah) yang seharusnya menjadi sarana untuk membentuk generasi penerus bangsa yang berpengetahuan, bermoral dan beretika bisa menjadi gagal apabila lembaga pendidikan tersebut sudah masuk dalam pusaran perilaku korupsi.
Seperti hasil survei penilaian integritas (SPI) pendidikan di Sidoarjo pada tahun 2024, yang mana ditemukan indikasi tata kelola pendidikan yang terbilang rendah, salah satu indikator persentase satdik dengan kejadian siswa menerima perlakuan khusus saat penerimaan sebesar 73.02% atau lebih besar daripada rata rata nasional sebesar 59.54%.
Sementara, tata kelola pendidikan terbilang rendah yang mengakibatkan minimnya upaya untuk mencegah tindakan tidak berintegritas, yang pada gilirannya dapat merusak kepercayaan dan efektivitas sistem pendidikan secara keseluruhan. Tata kelola yang buruk mencakup pengelolaan yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak berorientasi pada pencegahan korupsi.
Ketika tata kelola lemah, maka kebijakan pencegahan korupsi, seperti kontrol internal, audit, dan pelaporan keuangan yang transparan, seringkali tidak diterapkan secara efektif. Hal ini menyebabkan potensi adanya penyalahgunaan wewenang, penggelapan dana, atau praktek korupsi lainnya akan lebih tinggi.
Selain itu pada aspek nepotisme di Kabupaten Sidoarjo dijelaskan bahwa persentase satdik dengan perlakuan khusus pimpinan kepada guru tertentu sebesar 25,40% atau lebih besar daripada rata-rata nasional sebesar 24,39%. Persentase satdik dengan perlakuan khusus kepada siswa sebesar 25,40% atau lebih besar daripada rata-rata nasional sebesar 23,52%. Persentase satdik dengan kejadian guru mendapatkan promosi karena kedekatan dengan pimpinan sebesar 44,44% atau lebih besar daripada rata-rata nasional sebesar 33,49%. Persentase satdik dengan kejadian siswa menerima perlakuan khusus saat penerimaan sebesar 73,02% atau lebih besar daripada rata-rata nasional sebesar 59,54%.
Pada aspek pengadaan barang/jasa di Kabupaten Sidoarjo dijelaskan bahwa persentase satdik dengan praktik pembelian sarana dan prasarana satdik (ATK, laptop/komputer/lab, dll) dilakukan secara kurang transparan sebesar 50,79% atau lebih besar daripada ratarata nasional sebesar 47,61%. Persentase satdik dengan kejadian pembelian sarana dan prasarana satdik (ATK, laptop/komputer/lab, dll) yang kurang sesuai dengan kebutuhan belajar dan mengajar sebesar 15,87% atau lebih kecil daripada rata-rata nasional sebesar 17,59%. Persentase satdik dengan kejadian penentuan vendor pelaksana/penyedia (toko, kontraktor, perusahaan) berdasarkan relasi pribadi sebesar 39,68% atau lebih kecil daripada rata-rata nasional sebesar 41,72%. Persentase satdik dengan kejadian menerima komisi dari vendor (toko, kontraktor, perusahaan) tempat membeli sarana/prasarana satdik. sebesar 36,51% atau lebih besar daripada rata-rata nasional sebesar 24,75%.
Korupsi di sektor pendidikan dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan dan para pendidik. Masyarakat mungkin merasa bahwa sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman dan terpercaya untuk mendidik anak-anak mereka. Contoh Buruk bagi Siswa. Korupsi dapat memberikan contoh buruk bagi siswa. Jika mereka melihat bahwa perilaku korupsi dapat memberikan keuntungan, mereka mungkin akan cenderung untuk melakukan hal yang sama di masa depan.
Korupsi dapat merusak integritas individu dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Jika praktik korupsi dianggap normal, maka akan sulit untuk menumbuhkan budaya integritas dan kejujuran di kalangan siswa dan masyarakat.
Diskriminasi dalam penerimaan siswa baru dan perilaku korupsi dalam penerimaan siswa, seperti pungutan liar atau suap, dapat membuat siswa dari keluarga kurang mampu kesulitan untuk masuk ke sekolah favorit. Hal ini menciptakan ketidakadilan sosial, di mana akses pendidikan yang berkualitas hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Masih banyak praktek KKN dalam pelaksanaan sistem penerimaan murid baru kali ini, termasuk adanya dugaan jual beli bangku, suap dan pungli di SMAN Tarik yang diduga melibatkan panitia SPMB di satuan pendidikan tersebut. Hal serupa juga diduga di hampir seluruh satuan pendidikan negeri di kabupaten Sidoarjo. Tentunya hal ini menjadi petaka bagi dunia pendidikan, dimana lembaga pendidikan yang merupakan sarana yang disiapkan oleh negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mendidik moral serta karakter bagi generasi penerus bangsa justru dirusak oleh segelintir oknum pendidik yang serakah dan tamak. Negara harus hadir dan segera menindak oknum pendidik yang menjadi aktor kerusakan moral dan etika generasi penerus bangsa. (NK)