Kulon Progo, suaraglobal.co.id ~ Lebih dari lima tahun Kabupaten Kulon Progo mempunyai Taman Budaya dengan segala fasilitas yang sangat memadai, bahkan terbilang megah dan mewah.
Namun ‘degup jantung’ pusat kegiatan kesenian dalam berbagai kiprahnya belum mampu menciptakan atmosfir sebagai pusat pengembangan dan pemajuan kebudayaan. Baik didalam area Taman Budaya yang luas tanahnya 4, 25 hektar, maupun di luar pagar sepanjang Jalan Kawijo yang membujur di sebelah timur Taman Kebudayaan Kulon Progo (TBK).
Diluar agenda pementasan yang biasanya di selenggarakan di Auditorium, Amphiteater, maupun pameran seni rupa di gedung Exhibition, serta seremonial di Pendapa, suasana sehari – harinya masih terbilang sepi pengunjung.
Kadang terlihat beberapa kelompok beraktivitas di Selasar. Seperti organisasi bela diri yang latihan disitu. Kelompok ibu – ibu senam di halaman. Kadang juga ada kelompok dari sanggar – sanggar yang berlatih di pendapa.
Selain mereka yang memang telah memiliki jadwal latihan di Taman Budaya, ya tidak banyak seniman, masyarakat umum atau pelajar yang sengaja datang ke Taman Budaya untuk mengambil manfaat atas keberadaan Taman Budaya.
Jika membandingkan dengan Taman Budaya lainnya, misalnya TBJT atau TBS di Surakarta, hampir tiap hari ada saja para seniman, pelajar, mahasiswa dan umum yang datang. Baik kegiatan latihan, atau sekedar nongkrong di kantin, di angkringan untuk bertemu teman – teman. Bahkan sampai larut malam.
Di TBJT bahkan ada penginapan murah. Itu sangat bermanfaat jika seniman luar kota Surakarta hendak pentas di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT).
“Kalau di Solo, jam sembilan malam janjian untuk bertemu teman di angkringan TBJT atau TBS itu biasa. Masih ada kehidupan. Padahal disana luas juga areanya… Di berbagai tempat selalu terlihat kelompok – kelompok seniman yang ngumpul.
Di TBY (Taman Budaya Yogyakarta) juga begitu. Selain kantin di dalam lingkungan Taman Budaya, di luar pagar selalu ramai orang jualan makanan apa saja. Gampang nyari makan dan murah, terjangkau kantong seniman. Jadi ya pada betah berlama – lama di Taman Budaya. Bisa bertemu siapa saja…”, kata Ari Purnama, salah satu narasumber pada acara talk show Radio Megaswara di Taman Budaya Kulon Progo (3/7/2025).
Dalam talk show itu, saya juga menjadi salah satu narasumber, bersama seorang dosen jurusan tari ISI Yogyakarta. Mengangkat topik bahasan : Mengoptimalkan Pemanfaatan Taman Budaya Kulon Progo.
Sudut pandang para seniman dan akademisi, tidaklah selalu sama dengan cara pandang Pengelola Taman Budaya. Itu lumrah, suatu hal yang biasa saja.
Semua punya kepentingan terkait keberadaan Taman Budaya.
Seperti halnya
usulan Penyair Marjuddin Suaeb yang terobsesi gedung – gedung di TBK itu digunakan untuk “pentas siang sebagai malam”, akan banyak sekolah bisa menggunakannya, TBK akan lebih hidup.
Dan para pelajar yang rumahnya jauh dari kota Wates, jauh dari Pengasih, tidak repot berangkat pentas, atau nonton pentas malam hari.
Beberapa seniman lain yang di wawancarai suaraglobal.co.id mengatakan :
” Ya hanya sanggar atau forum – forum yang mendapat bantuan Dana Keistimewaan yang bisa pentas disana.
Kalau pentas mandiri, dengan biaya sendiri ya nggak kuat bayar sewa gedungnya…” pendapat salah seorang penggiat seni tradisi.
Sumber lain mengatakan :
“Yang ramai dikunjungi penonton itu kalau ada pentas Jathilan di halaman Tanan Budaya.
Pedagang yang masuk area Taman Budaya juga banyak. Ada penjual bakso, ada penjual cilok, ada yang jual es, minuman dan mainan anak..’ , demikian pengamatan salah satu pemilik sanggar tari menjawab pertanyaan suaraglobal.co.id
“Mungkin sepinya Taman Budaya itu juga bisa karena kurangnya sosialisasi ke masyarakat.
Kalau ada komunitas seni mau adakan pertemuan dan lesehan di Pendapa, apakah juga di kenakan beban biaya sewa ?
Atau cukup dengan mengajukan ijin ke Pengelola ?
Sosialisasi agenda acara juga perlu. Jadi masyarakat tahu, kapan akan ada pementasan, ada kegiatan.
Banyak, lho, yang tidak mendapatkan informasi kegiatan itu.
Tahu – tahu muncul live streamingnya di kanal You Tube Kundha Kabudayan.
Dalam life streaming Itupun terlalu banyak sambutan pejabatnya,
dari pada menginformasikan tentang profil senimannya, profil sanggarnya, forumnya. Atau tentang karya yang dipentaskan…
Coba saja buka You Tubenya. Yang selalu disebut dalam sambutan ya cuma itu – itu saja : Kepala Desa, Camat, Koramil, Polsek Pengasih, karena TBK ada di Pengasih. Selebihnya ya hanya laporan kegiatan Kundha Kabudayan dan Pengelola Taman Budaya terkait pertanggung jawaban menggunakan Dana Keistimewaan (Danais).
Orang mbuka kanal You Tube nonton konten itu kalau lebih 30 menit isinya cuma sambutan ya wegah …ganti kanal lain, nonton konten lain.
Kan lebih perlu apresiasi seninya, mengapresiasi kekaryaan yang ditampilkan. Bukan video dokumentasi laporan pejabat dan formalitas pertanggung jawaban Dana Keistimewaan.
MC nya juga banyak menghabiskan waktu. Kayak nanggap dagelan. Tidak pernah koreografernya disuruh ngomong tentang karya tarinya. Tidak pernah sutradara ketoprak disuruh bicara tentang lakon atau inovasi karyanya. Tidak pernah para sastrawan, penyair bicara. Paling ya baca puisi saja. Gantian. Berapa penampil …gitu – gitu saja kemasannya…”, celoteh seniman muda yang mengungkapkan ketidak puasanya.
“Padahal Taman Budaya bisa dikembangkan menjadi lebih hidup lagi dengan menampung gagasan pemikiran para seniman yang diharapkan menjadi pelaku utama dalam pemajuan kesenian kebudayaan.
Kulon Progo punya banyak forum yang terbentuk dan memperoleh bantuan Dana Keistimewaan, yang di kucurkan melalui Kundha Kabudayan. Tapi mereka datang ke TBK ya hanya pada saat forumnya di danai untuk pentas.
Jika forum – forum yang ada itu bisa menggelar kegiatan seperti : sarasehan atau diskusi kekaryaan dengan lesehan di penpada saja, tidak harus pentas di Auditorium atau Amphiteater, misalnya, akan bisa lebih menghidupkan
TBK.
Atau para perupa bisa dipersilahkan membuat karya instalasi di area TBK. Tidak harus formal Pameran. Karya – karya itu bisa menjadi foto boot untuk Selfi para pengunjung.
Toh di TBK juga difasilitasi wifi automatis yang bisa diakses siapapun yang berada diarea itu.
Sesekali bisa saja Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) dan UPT Pengelolaan mengundang para seniman budayawan, nggelar tikar di pendapa dan menampung masukan – masukan guna mengoptimalkan fungsi dan pemanfaatan TBK untuk pemajuan kebudayaan.
Tapi entahlah, apa kegiatan begitu juga harus ada SPJnya ?
Apakah para seniman yang rumahnya jauh dari Pengasih juga bersedia ngumpul di TBK tanpa pengganti uang transportasi ?
Masalahnya begitu kompleks. Dan untuk mengoptimalkan pemanfaatan TBK membutuhkan peran serta semua pihak yang ingin Kulon Progo semakin maju dan berkembang gerak kesenian dan kebudayaannya.
Begitu sudah pandang para seniman dalam melihat keberadaan Taman Budaya di daerahnya
Saat hendak mengakhiri catatan ini, saya baru tersadar bahwa di ruang tamu ada kaca mata yang tertinggal.
(Dan hal ini menginspirasi judul tulisan saya dalam merangkum hasil wawancara dengan sejumlah narasumber yang tak mau disebut namanya, obrolan tentang Danais dan Taman Budaya)
‘Kacamata’ para seniman, kadang membingkai cara pandang yang berbeda…
Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip puisi karya Penyair Marjuddin Suaeb (yang kaca matanya tertinggal di rumah saya)
Sekedar bentuk penghargaan bahwa sebuah karya juga perlu di apresiasi :
“SERAMPUNG PANEN”
‘Ambil niat geluti lumpur lagi
Teka-teki cuaca cangkuli musim.
Cuma bisa tanam tak buahkan.
Tani kemudian jadi dagang.
Sebetulnya tani sembayang.
Tani sembayang dan pasrah
Pasrah pada permainan itu
Silahkan selalu iramamu
Irama sebagai cangkul itu
Secangkul lumpur
Setelan nasi
Selantun doa dalam keringat kami.
Yk2025juddinsuaeb@
Mengoptimalkan pemanfaatan Danais dan Taman Budaya, juga ibarat bertani. Sawahnya ada. Bibitnya ada. Tinggal mengolah, menanam, merawat dan kelak panen memetik kemanfaatannya.
Tulisan Tito Pangesthi Adji.