Yogyakarta/suaraglobal.co.id – Budaya ~ Wayang Mego
Adalah wayang yang menceritakan awan yang melintas di langit.
Mendekonstruksi wayang pakem, seperti mego yang setiap saat berubah karena terhempas angin. Wayang mego tidak ada aturan yang pakem.
Namun demikian wayang mego tetap menyematkan nilai nilai kehidupan di dalam alur ceritanya.
Kepada suaraglobal.co.id yang mewawancarainya di belakang panggung, B’Djo Ludiro, Perupa pencetus karya cipta Wayang Mego ini menceritakan:
~ “Tidak ada khotbah moral yang dilakukan dalang, pesan diselipkan dalam kisah cerita.
Pementasan biasanya mengangkat tema tema kehidupan terutama sastra klasik di ukiran relief candi Borobudur, juga dongeng rakyat lokal yang memuat ajaran budi pekerti ”
~”Kapan pertama kali di pentaskan dan lakonnya menceritakan serat apa ?”
~”Pada pementasan pertama Wayang Mego menceritakan kisah Ajisaka yang menjadi legenda di tanah jawa.
Kalau konsep Wayang mego lahir sejak tahun 2009, di pulau Tambelan, Kepulauan Riau, lalu terwujud secara visual di tahun 2018.
Wayang generasi pertama berkarakter masyarakat umum yang secara visual adalah berbentuk karikatur.
Generasi pertama ini dipentaskan di Taman Edukasi Tegong di Selomartani, Kalasan Sleman.
Kemudian wayang generasi kedua, berbahan kain kanvas yang secara visual bermotifkan mego/awan, dipentaskan pertama kali di acara Grudug Wayang di rumah budaya Royal House, Sleman.
Kemudian wayang generasi ketiga, masih bermotif mego, namun bisa divisualkan dalam siluet di kelir dengan pencahayaan dari belakang”
~”Mengalami perubahan bentuk ya ?
Pernah dipentaskan dimana saja ?”
~”Beberapa kali pementasan di sejumlah wilayah.
Di Gunungkidul pernah. Di Sleman, Bantul, Yogyakarta kota, dan Solo.
Wayang yang saya tampilkan secara kontemporer ini terinspirasi dari pengalaman masa kecil. Waktu itu saya bersama orangtua sedang berada di halaman. Memandangi bulan purnama dengan mego yang berarak melintasinya. Dalam pandangan saya kok kayak nonton sebuah pertunjukan..? Mego seperti wayangnya dan rembulan sebagai kelirnya…”
~”Proses kreatifnya melewati waktu yang panjang ya ?”
~” Ya. Inspirasi itu menumbuhkan keinginan yang semakin kuat dan mega berarak itu menjadi angan. yang semakin nyata. Nah, Wayang Mego itulah wujud sungkem bekti terhadap orang tua, agar selalu ingat akan petuah dan ajaran yang telah diberikannya”, lanjutnya menerawang.
~”Dalam pementasan, iringan musik ya menggunakan alat apapun yang mungkin untuk menimbulkan efek suara tertentu, seperti petir dan hujan.
Suluk yang saya lantunkan pun juga tidak mengadopsi suluk dalam wayang pakem. Alur ceritanya saya kolaborasikan dengan puisi, tari, tembang dan apapun yang memungkinkan..”
~”Setelah mengalami proses panjang, penyempurnaan gagasan dan malam ini dipentaskan, impian apa lagi yang ingin diwujudkan ?”
~”Harapan saya wayang mego ini dapat menambah atau memberi warna baru
dalam khasanah budaya Nusantara…”
Saya pernah melihat wayang – wayangnya, tetapi memang belum pernah melihat Perupa B’Djo Ludiro itu mendalang.
Sutradara, Maestro Kethoprak Nano Asmorodono, tentu mempunyai alasan ; mengapa dalam menggarap “Sahoyi Mustika Pungging” karya Joko Santoso yang dikemas dalam format Kethoprak – Wayang – Tari (Kwari) menggaet B’Djo Ludiro untuk menampilkan “Wayang Mego”nya ?
Diantara sejumlah seniman yang saya wawancarai, Aktor Kethoprak senior yang juga tersohor ; Dalijo Angkring, memberikan banyak wawasan tentang dunia ketoprak:
“Saya sangat bangga. Ini sebuah anugrah. Saya pribadi bersyukur bisa ikut bergabung dengan teman – teman.
Ini adalah pertunjukan Kwari. Kethoprak – Wayang – Tari.
Sebuah kolaborasi dimana kolektifitas itu sangat penting.
Dan disini juga saya merasakan harus ada…apa ya…tuntutan bathin itu keikhlasan.
Kita misalnya dari Insan Kethoprak . Harus bisa berbaur dengan temen – temen dari Teater. Teater pun demikian, harus ikhlas berbaur dengan temen temen Tari.
Ketiganya pun harus bisa berbaur dengan temen – temen Karawitan. Kemudian kita menyatukan frekuensi untuk membuahkan sebuah repertoar yang nantinya bisa sangat homogen walaupun dari berbagai cabang seni.
~ : Apa yang di tampilkan malam ini merupakan suatu bentuk pertunjukan yang baru, dan mungkin akan terus berkembang. Dan semua berangkat dari sebuah naskah..”
~ “Ya, naskah.
Dimana naskah itu adalah patokan kita, pijakan kita. Dari temen – temen Teater – Tari – Kethoprak dan Karawitan pun, dan dari tata pentasnya di panggung …naskah tetap jadi acuan dan pedoman.
~ ” Bagaimana tentang pengalaman, jam terbang yang selama ini di jalani , dalam ikut menciptakan suasana ? Itu kadang – kadang keluar dari naskah. Tetapi punya peran penting didalam menampilkan sesuatu untuk mengikat perhatian penonton. Maksud saya improvisasi.”
~ “Betul. Kalau Kethoprak konvensional pada umumnya itu berimprovisasi. Tapi kembali lagi, saya katakan tadi bahwa kita harus Legawa untuk merangkul yang lain. Misalnya temen – temen ada yang harus dengan naskah, kita juga harus imbangi dong. Kita harus baca naskah juga dan kita harus bisa berkomunikasi dengan mereka dengan naskah.
Nanti kalau kalau sudah naskah itu Mateng, kita hapal semuanya, tahu maksudnya, paham akan karakter kita masing – masing…Sutradara, Pak Nano memperbolehkan untuk di tambah sedikit – sedikit'” jelasnya sembari merampungkan make up-nya di depan meja rias.
Para pemain Kethoprak profesional, selalu merias diri sendiri, dan mengenakan kostum tanpa di layani.
Sepanjang wawancara ini, sepertinya aktifitas merias diri itu tak terganggu.
~ “bumbu – bumbu improvisasi dengan mengeksplorasi karakter, dan itu merupakan tantangan aktor dalam menghidupkan lakon itu sendiri…”
~ “Betul.Semakin dalam masuk pada karakter peran ya akan semakin menjiwai dan mampu improvisasi menyesuaikan keadaan…”
~ “Pertunjukan Kwari ini sebuah kemasan baru, masyarakat tentu menunggu seperti apa akan di tampilkan dalam pementasan nanti. Barangkali ada harapan – harapan yang akan Mas Dalijo sampaikan sebagai….”
~ “Aktor dibidang Kethoprak…!” sahutnya cepat,
~ “Secara frekuensi kan di Jogja ini pementasan Kethoprak kan masih banyak. Tetapi untuk yang kolaborasi seperti sekarang ini kalau tak mendapat dukungan dan kesempatan, sulit untuk mengkolaborasikan berbagai elemen masyarakat yang bisa memperkuat…”
~ “Iya. betul. Betul. Memang sekarang sudah saatnya melebur dari kotak – kotak cabang seni. Walaupun kelompok – kelompok itu masih tetap terbelah. Tapi pada saatnya kita memang harus kerja kolektif, kooperatif dan kwalitatif. Penting juga untuk merangkul kekuatan yang lain…”
Masih banyak narasumber yang harus saya wawancarai untuk memperoleh informasi lebih luas kolaborasi Kethoprak – Wayang dan Tari ini.
Saya masih belum berhasil menemui Penulis Novel “Roro Hoyi” (yang dalam naskah lakon ini berubah judul menjadi “Sahuyi”)
Masih beberapa aktor yang sepertinya perlu juga di wawancarai.
Penulis Tito Pangesthi Adji