Sidoarjo//suaraglobal.co.id – Berbagai narasi yang terbangun di publik terkait dampak negatif terhadap pembangunan di kabupaten Sidoarjo yang dikarenakan adanya penolakan DPRD kabupaten Sidoarjo terhadap Raperda LPP APBD tahun 2024 cukup menjadi perhatian publik. Mulai dari “kecemasan” para Kepala Desa, tokoh masyarakat dan para aktivis di kabupaten Sidoarjo akan dampak langsung terhadap pembangunan di kabupaten Sidoarjo akibat penolakan LPP APBD Bupati Sidoarjo oleh DPRD. Bahkan penolakan tersebut akan berdampak pada pengesahan Raperda P-APBD tahun 2025. Sebagaimana disampaikan Asisten Administrasi Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Sidoarjo adalah M. Ainur Rahman saat mendampingi Bupati Subandi menerima sekelompok masyarakat sipil yang menamakan gerakan Non Blok pada Rabu, 30/7/2025 yang lalu.
“Disebutkan dalam pasal 197 ayat 3 bahwa penetapan Perda PAK, ditetapkan setelah adanya Penetapan Perda LKPJ tahun sebelumnya. Jadi kalau dipaksakan membahas PAK apakah tidak Muspro (mubadir). Karena kita belum ada Perda LPJ. Pemkab Sidoarjo masih menunggu fatwa Kemendagri RI soal pelaksanaan PAK APBD Tahun 2025,” disampaikan Ainur Rahman saat menemui kelompok masyarakat sipil.
Sementara itu Ahli Hukum Tatanegara Universitas Bhayangkara Surabaya, Dr Jamil SH MH menyampaikan bahwa, penolakan LPP APBD tahun 2024 oleh DPRD tidak mempengaruhi pembahasan Raperda P-APBD tahun 2025. Selama kedua belah pihak (eksekutif dan legislatif red) bersepakat untuk membahasnya.
“Penolakan LPP APBD oleh DPRD tidak mempengaruhi pembahasan Raperda P-APBD tahun ini, selama Bupati (eksekutif) dan DPRD (legislatif) bersepakat untuk membahasnya,” ujar Dr Jamil SH MH.
Lebih lanjut dosen ilmu hukum universitas Bhayangkara Surabaya tersebut menyatakan, bahkan Perda P-APBD tahun 2025 berpeluang besar disahkan kalau memang ada kesepakatan dari DPRD dan Bupati dan juga sudah melalui mekanisme evaluasi oleh Gubernur.
“Pengesahan Raperda P-APBD tahun ini menjadi Perda tetap terbuka lebar kalau DPRD dan Bupati bersepakat, tentunya setelah dilakukan evaluasi oleh Gubernur,” tegasnya.
Narasi yang berkembang di masyarakat terkait dampak negatif tentang terhambatnya pembangunan akibat adanya penolakan terhadap Raperda LPP APBD tahun anggaran 2024 dirasakan tidak benar, sebab antara penolakan LPP APBD tahun anggaran sebelumnya tidak akan mempengaruhi Raperda P-APBD tahun ini. Sebab, bentuk utama pertanggungjawaban pelaksanaan APBD adalah adanya kewajiban pemerintah daerah sebagai pengguna anggaran untuk membuat laporan keuangan dan laporan kinerja yang kemudian akan dievaluasi dan di klarifikasi oleh BPK, DPRD, dan Kementerian Dalam Negeri. Secara normatif mekanisme evaluasi laporan tersebut akan dinilai sesuai dengan asas asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Khususnya asas akuntabilitas dan kepastian hukum. Penolakan atau menerima (mengesahkan red) Raperda LPP APBD merupakan bagian dari kewajiban DPRD untuk melakukan fungsi pengawasan, sedangkan pembahasan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) menjadi Perda (Peraturan Daerah) merupakan kewajiban DPRD dalam melakukan fungsi Legislasi.

Syarat untuk dilakukannya perubahan APBD diatur dalam Peraturan Pemerintah no 12 tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah pasal 61 ayat 2,: Perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan apabila terjadi: a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA;
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar organisasi, antar unit
organisasi, antar Program, antar Kegiatan, dan antar jenis belanja;
c. keadaan yang menyebabkan Silpa tahun anggaran sebelumnya harus digunakan dalam tahun anggaran berjalan
d. keadaan darurat; dan/atau
e. keadaan luar biasa.
Sementara itu statement asisten bidang administrasi pemerintahan dan kesejahteraan rakyat, Ainur Rahman yang mengatakan bahwa pembahasan Raperda P-APBD tahun ini akan muspro (sia sia) dengan alasan pasal 197 dalam peraturan pemerintah no 12 tahun 2019 tentang pengelolaan keuangan daerah dirasa terlalu mengada ada dan seolah olah mendahului proses. Sementara itu tidak ada satu katapun dalam pasal tersebut yang melarang adanya pembahasan maupun pengesahan Raperda P-APBD.
Begini bunyi peraturan pemerintah no 12 tahun 2019, pasal 197 : (1) Dalam hal dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diterimanya
rancangan Perda tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD dari Kepala Daerah, DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan Kepala Daerah
terhadap rancangan Perda tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD, Kepala Daerah Menyusun dan
menetapkan PerKada tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD. (2) Rancangan Perkada sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri
bagi Daerah provinsi dan gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat bagi Daerah kabupaten/kota.
(3) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)’, rancangan Perkada tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD beserta lampirannya disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan Kepala Daerah terhadap rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. (4) Dalam hal dalam batas waktu 15 (lima belas) hari Menteri atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak
mengesahkan rancangan Perkada sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Kepala Daerah menetapkan rancangan Perkada tersebut menjadi Perkada.(NK)