Artikel

Sirih Tanaman Mistis Dalam Adat Tradisi Spiritual

33
×

Sirih Tanaman Mistis Dalam Adat Tradisi Spiritual

Sebarkan artikel ini

Yogyakarta/suaraglobal.co.id – Tukar Kawruh Srawung Paseduluran Anggara Kasih (21/7/2025), masih menyisakan banyak tanggapan dan pertanyaan.

Ki Gde Mahesa membacakan notulen (sebagian telah dirangkum pada liputan suaraglobal.co.id sebelumnya) sebagai berikut :

~”Nyai Dewi Dersanala, daun sirih itu kalau disini ya godhong suruh. Jarwadosohnya : “selak kesusu le arep weruh”
Buru – buru kepingin melihat. Ini dalam pembahasan makna gantalan sirih pada prosesi pernikahan adat tradisi Jawa.

Lempar – lemparan daun suruh itu berisi sanepa atau pesan melalui simbol – simbol, jangan buru – buru ingin melihat ingin merasakan sebelum Calon Pengantin melakukan Ijab Khobul dulu.

Ada perbedaan antara Gaya Jogja dan Solo. Kalau adat Jogja melempar sirihnya melambung. Kalau adat Solo vertikal.

~”Ki Tri Melki; beliau dapat pengalaman makan sirih dalam suatu uparaca ritual kematian.
Efek nyirih ‘bengoren’, lidahnya tidak bisa merasakan manis, asin, gurih, pahit. Seperti mati rasa.

~”Ki Kus Margono ; dari kecil sudah nyoba – nyoba nginang. ‘rasane panis’.

~”Mbak Farida; mengaku ‘saya nggak bisa cerita’

~”Bu Tete ; ‘kepo. Tidak nyirih. Tapi kalau minum rebusan daun sirih bisa’

Bu Tete tanya : kalau nyirih porsinya sehari berapa kali ? Ramuannya harus seperti apa, takarannya bagaimana ?
Silahkan nanti Mas Eko Hand menjawabnya…
~”Bu Jenar ; masa kecil nggak pernah nginang. Tapi senang melihat orang menyirih. Dulu masa kecilnya di Sumatera. Tadi cerita di daerahnya ada tradisi Sekapur Sirih, yang maknanya sebagai penghormatan…
~”Ki Bambang Nursinggih ; nginang itu setelah akhil balik. Kalau dari kecil kok sudah nginang itu salah. Tapi ini tidak boleh didebat. Kita semua harus bisa menerima beda pendapat. Terus menurut beliau, nyirih atau nginang itu bisa memunculkan aura ‘ben kinclong’…

~”Mbak Arita ; Orong tuanya dari Jawa. Tapi dia lahir di Sumatera Utara. Mulai suka nyirih itu karena ada dheplokan sirihnya. Nginang bentuk aktifitas tradisi budaya.
Mbak Arita menceritakan dongeng dari kakeknya : ‘tanaman sirih itu dulunya dari Cakra Ganesh yang diturunkan ke bumi dengan tendensi yang besar untuk kebaikan. Daun sirih sangat baik untuk berbagai ritual…

~”Ki Supriyadi ; ‘rasanya mumbul sundhul langit’. Obat sakit gigi. Setelah tahu fungsinya, bisa sakau kalau nggak nginang…

~Mbak Rika Sitepu ; waktu kecil sering disuruh beli sirih. Juga disuruh nyirih. Sirihnya sudah di mantrai, yang mana agar dapat jodoh lelaki yang imut…

~”Ibu Rotuna…ekh, Bu Rotua. Ini Batak. Sumatera juga.
Disana tidak ada ‘nginang’, tidak ada ‘nyirih’. Yang ada ‘Napuran’.
Simbol harmoni, harmoni sosial, masyarakat, serta budaya alam semesta.
Dalam setiap upacara adat tradisi pasti ada Napuran itu.

Pengalaman dia adalah: orang tua menyuruh anak – anaknya nyirih. Nyirih bisa menambah nafsu makan.
Jadi sudah mengenal sirih sejak kanak.
Setelah ke Jawa dan berumah tangga, pernah tiba – tiba diberi sirih sama orang. Akhirnya diberi ilmu pengetahuan dan hal – hal lain keahlian khusus dalam pijet..

~:Kemudian Mpu Tito sendiri ; ngomong tentang sirih, benang merah jalinan kajiannya tidak akan pernah ada habisnya.

Yang di ceritakan bukan pengalaman pribadi, tapi dia bersaksi ; daun sirih sering di pergunakan oleh kaum perempuan untuk menanggulangi masalah ‘keputihan’. Manfaat daun sirih juga berfungsi untuk mengatasi bau badan. Air rebusan daun sirih itu bisa diminum ataupun buat mandi..
Karena daun sirih mengandung antibiotik, antiseptik alami…

Nah, banyak ini ..efek bengoren, panis’, pengar, mual, ketagihan … itu barangkali terkait takaran racikannya.
Silahkan Mas Eko menjawab nya…”

~”Berapa kali nyirih dalam sehari ? Saksire…sesuka hati.
Tak ada takaran yang baku, karena menyangkut perbedaan bahan – bahan yang dipilih, juga masalah perbedaan selera perseorangan, karena menyangkut tentang rasa.
Dosis takaran akan ditemukan masing – masing orang berdasarkan pengalamannya.
Terus, ukuran daun sirihnya, kan juga berbeda – beda…”

Sebagai penutup, Pemantik diskusi Eko Hand menyampaikan bahwa aktifitas nyirih merupakan budaya perilaku, dan juga budaya spiritual di Jawa, Nusantara dan berbagai belahan dunia lainnya.

Tito Pangesthi Adji.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *