Artikel

Menapak Jejak Peradaban Merawat Nilai Yang Diwariskan

29
×

Menapak Jejak Peradaban Merawat Nilai Yang Diwariskan

Sebarkan artikel ini

Yogyakarta/ suaraglobal.co.id – Sejarah bisa disebut sebagai jejak peradaban, karena sejarah merekam dan menggambarkan perjalanan hidup manusia dan masyarakat dalam berbagai aspek, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama.

Sejarah juga merefleksikan bagaimana manusia dan masyarakat berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan bagaimana mereka mengatasi tantangan dan masalah yang dihadapi.

Nilai-Nilai yang Diwariskan

Sejarah dapat dipetik sebagai pelajaran tentang keberhasilan dan kegagalan yang dialami oleh masyarakat dan individu dalam berbagai aspek kehidupan.

Keterhubungan masa kini dan masa lalu, menampak pada
nilai-nilai budaya dan tradisi. Sejarah dapat merefleksikan nilai-nilai budaya dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, serta bagaimana nilai-nilai tersebut berkembang dan berubah seiring waktu.

Belajar dari sejarah bisa memetik hikmah, yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk menghadapi tantangan dan masalah di masa depan.

Sejarah dapat membantu membentuk identitas dan kesadaran masyarakat tentang diri mereka sendiri dan tempat mereka hidup ditengah masyarakat dan lingkungan.

Sejarah juga dapat membantu kita memahami bagaimana masyarakat dan individu dapat berkembang dan berubah seiring waktu, serta bagaimana kita dapat belajar dari keberhasilan dan kegagalan masa lalu.

Jejak Peradaban

Sejarah dapat dianggap sebagai rekam jejak peradaban manusia, yang merefleksikan perjalanan hidup manusia dan masyarakat dalam berbagai aspek.

Nilai nilai luhur yang dipetik dari sejarah dapat dianggap sebagai warisan yang dirawat, dijaga dan diteruskan dari generasi ke generasi, yang merefleksikan nilai-nilai dan pengalaman yang telah diperoleh.

Ada beberapa kutipan yang relevan di sampaikan untuk memberi motivasi generasi saat ini, agar memetik pelajaran dari sejarah leluhurnya.

Di antaranya :

• “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya” [Ir. Soekarno]

• “Belajar dari sejarah, karena sejarah adalah guru yang paling bijak”
[tidak diketahui secara pasti siapa yang mengatakannya, namun kalimat ini sering digunakan untuk menekankan pentingnya mempelajari sejarah]

• “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”
[Ir. Soekarno]
Kutipan ini diambil dari pidato Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959, yang kemudian dijadikan sebagai salah satu semboyan nasional Indonesia.
Hal ini menekankan pentingnya mempelajari dan menghargai sejarah bangsa, serta tidak melupakan jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa.

Dengan mempelajari sejarah, generasi saat ini dapat memetik pelajaran berharga tentang keberhasilan dan kegagalan masa lalu, serta dapat memahami bagaimana sejarah telah membentuk bangsa dan negara Indonesia menjadi seperti sekarang ini.

***

Upaya memetik hikmah dari belajar sejarah itu, melandasi kegiatan Komunitas ANGGARA KASIH dan STAK dalam mempersiapkan acara :
Tirakat Kebangsaan Umbul Kidung Puja Mantra#2, yang untuk tahun ini mengangkat Tajuk : “Garuda Amurwa I Bumi Nusantara”
[Acara akan diselenggarakan tanggal 26 Agustus 2025, di Candi Kedulan, Tirtomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta]

Mengapa memilih Candi Kedulan sebagai tempat penyelenggaraan, mengapa pula mengangkat Tajuk ” Garuda Amurwa I Bumi Nusantara” ?

Tanggal 20/8/2025 kemarin lusa penulis bersama panitia melakukan survey ke candi Kedulan, orientasi lapangan, koordinasi dengan berbagai pihak dan menghimpun informasi tentang candi Kedulan.
Berikut adalah rangkuman dari literasi dan berbagai sumber :

Bagian I
‘Menapak Jejak Peradaban’

Candi Kedulan dibangun pada sekitar abad ke-8 dan ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno .

1.Sejarah Penemuan

Candi Kedulan ditemukan secara tidak sengaja oleh penambang pasir pada 24 November 1993.
Saat ditemukan, candi ini terkubur 6-7 meter di bawah permukaan tanah akibat letusan Gunung Merapi.

2.Prasasti dan Nama Asli

Pada proses penggalian, ditemukan tiga prasasti di area Candi Kedulan, yaitu :
• Prasasti
Pananggaran
• Sumundul,
• Tlu Ron.

Berdasarkan kajian prasasti tersebut, candi ini bernama asli : “Parahyangan Tigaharyyan”

Mengapa kemudian lebih dikenal dengan nama “Candi Kedulan” ?

Nama Kedulan diambil dari nama dusun tempat candi tersebut ditemukan.

3.Tanggal Pembangunan

Berdasarkan Prasasti Pananggaran dan Sumundul, tanggal pembangunan candi ini dapat diperkirakan sekitar tahun 868 Masehi.
[Sekitar 10 tahun setelah Candi Prambanan berdiri].

Di sekitar Kalasan dan Prambanan, terdapat banyak candi yang menunjukkan adanya kegiatan keagamaan yang beragam, termasuk Hindu dan Buddha.

Beberapa candi yang ditemukan di daerah ini memiliki corak dan ciri bangunan yang berbeda-beda, menunjukkan adanya pengaruh agama yang berbeda-beda pula.

Adanya candi-candi yang berbeda agama di sekitar Kalasan dan Prambanan menunjukkan adanya toleransi beragama yang tinggi pada masa itu. Para pemeluk agama yang berbeda-beda hidup berdampingan dan saling menghormati.

Adanya candi-candi yang berbeda agama dan berada pada lokasi berdekatan, juga menunjukkan adanya kerukunan antara para pemeluk agama yang satu dengan lainnya. Mereka mungkin memiliki hubungan yang baik dan saling bekerja sama dalam berbagai kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan.

Dalam konteks sejarah, Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi, dikenal sebagai periode yang memiliki toleransi beragama yang tinggi. Raja-raja pada masa itu membangun candi-candi untuk agama Hindu dan Buddha, menunjukkan adanya dukungan dan toleransi terhadap berbagai agama.

Periode ini mencerminkan harmoni antara agama-agama tersebut, dengan candi-candi seperti Borobudur dan Prambanan yang menjadi simbol keagungan spiritual dan budaya

***

Selain warisan budaya yang bersifat fisik keberadaan bangunan candi, dari berbagai buku literasi sejarah dapat ditemukan tentang konsep – konsep ajaran dan kearifan lokal masa lalu.
Misalnya :

•Dharma
Agama [ kewajiban agama atau tugas keagamaan] Dalam konteks Hindu, Dharma Agama merujuk pada kewajiban menjalankan ajaran agama dan melakukan ritual keagamaan.

• Dharma
Negara : [ kewajiban negara atau tugas kenegaraan]. Dalam konteks Hindu dan Buddha, Dharma Negara merujuk pada kewajiban menjalankan pemerintahan yang adil dan melindungi rakyat.

• Dharma
Guna [ berupa kewajiban untuk mengabdikan diri dalam masyarakat]

Konsep tersebut dipetik dari ajaran Hindu dan Buddha, dan merupakan bagian dari falsafah yang menekankan pentingnya menjalankan kewajiban dan tugas dalam berbagai aspek kehidupan.

Dalam konteks Indonesia, konsep Dharma Agama, Dharma Negara, dan Dharma Guna masih relevan dan digunakan dalam berbagai konteks, seperti dalam ajaran agama Hindu dan Buddha, serta dalam konteks kenegaraan dan kemasyarakatan.

Referensi tentang konsep Dharma Agama, Dharma Negara, dan Dharma Guna dapat ditemukan dalam berbagai kitab suci Hindu dan Buddha, seperti:

• Kitab
Bhagavad Gita
• Kitab Manusmriti
• Kitab Dhammapada

Konsep-konsep tersebut juga dibahas dalam berbagai literatur akademik tentang agama Hindu dan Buddha, serta dalam konteks filsafat dan etika.

(Bersambung, Menapak #2)

( Team Redaksi )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *