Peristiwa

Klaim Marinir Purboyo Atas Tanah Puslatpur Cacat Hukum

93
×

Klaim Marinir Purboyo Atas Tanah Puslatpur Cacat Hukum

Sebarkan artikel ini

Malang//suaraglobal.cod.id Tanah Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) yang diklaim Marinir atau Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) di wilayah Kabupaten Malang 19/03/2025

Selama puluhan tahun, diduga cacat hukum. Hal ini disebabkan tidak dipenuhinya berbagai persyaratan oleh pihak TNI AL.

Persyaratan yang dimaksud adalah yang tertuang dalam SK/32/M/PENG/65 tanggal 16 Juli 1965, yang selama ini dijadikan dasar hukum penguasaan lahan oleh TNI AL. Dengan demikian, masyarakat petani penggarap tanah seharusnya lebih berhak atas tanah tersebut. Karena mereka dijamin oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960.

Hal tersebut seperti diungkap oleh Praktisi Hukum Achmad Hussairi, SH, MH. Dijelaskannya, dalam SK/32/M/PENG/65 itu, menentukan penguasaan lahan seluas 4.811 hektar. Area itu meliputi lahan di Desa Sumberbening, Srigonco, Bandungrejo, Pringgondani dan Karangsari Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.

Kemudian di Desa Sempol, Sumberkerto, Pagak dan Sumberejo, Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang. Selanjutnya di Desa/Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang. dan di Desa Tlogosari, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang.

“Dulunya, area tersebut ada dalam penguasaan tiga perusahaan perkebunan Kolonial Belanda. Yakni, N.V. Cultuur Maatshapaij Gev. te Amsterdam, N.V. Cultuur Handelen Industrie Matschapij dan N.V. Cultuur Maatschapij Banduroto te Probolinggo”.

“Di lokasi tersebut, juga bermukim penduduk pribumi dimana mayoritas merupakan kuli dan pegawai serta buruh perkebunan,” terang Hussairi.

Seiring dengan merdekanya Indonesia pada 17 Agustus 1945, lanjutnya, maka tanah yang semula dikuasai perusahaan asing itu, kemudian statusnya beralih menjadi tanah negara. Dan pada perkembangannya, tanah tersebut statusnya beralih lagi menjadi obyek landreform atau reforma agraria.

Sesuai UUPA Tahun 1960 dan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 26 Mei 1964 N0. SK.50/Ka/1964, maka tanah tersebut sepenuhnya digunakan untuk petani penggarap lahan dan yang juga menempatinya sebagai permukiman selama ini.

Namun setahun kemudian, tepatnya pada 1964, Menteri Pertahanan/Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), mengajukan permohonan atas lahan tersebut. Agar tanah itu diberikan kepada Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

Sesuai surat permohonan Nomor VII/20/1/1, tanggal 11 Agustus 1964 dan surat Nomor G. 42/1/8, tanggal 14 April 1965, tanah tersebut dimohonkan untuk digunakan sebagai area tetap Puslatpur.

Menanggapi permohonan tersebut, Menteri Agraria yang saat itu dijabat oleh R Hermanses SH, mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agraria tanggal 16 Juli 1965 Nomor 32/H. Peng/65, yang memberikan hak penguasaan tanah pada TNI AL.

Dengan demikian status tanah tersebut tidak lagi menjadi hak para petani. Sehingga sejak saat itu, TNI AL mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut. Dan secara aktif menyelenggarakan latihan tempur disana.

“Sayangnya, ada hal-hal yang luput dari perhatian TNI AL di Purboyo. Karena hak penguasaan tanah tersebut disertai berbagai persyaratan, sesuai SK/32/M/PENG/65,” tandas pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris DPC Peradi Kabupaten Malang ini.

Diungkapkannya, terdapat 14 persyaratan yang harus dipenuhi oleh TNI AL. Satu poin saja dari persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka hak penguasaan tanah itu akan gugur dengan sendirinya.

Sejauh terbitnya SK/32/M/PENG/65 itu, terdapat berbagai pelanggaran. Setidaknya ada delapan persyaratan yang dilanggar TNI AL.

Pelanggaran pertama, tidak dijalankannya kewajiban pengurusan ijin dan hal-hal yuridis setelah 5 tahun terbitnya SK/32/M/PENG/65. Seharusnya TNI AL mendaftarkan ulang ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun sampai saat ini TNI AL tidak pernah melakukan pendaftaran ulang ke BPN.

Kedua, penduduk yang sudah bermukim di lahan tersebut, harus diijinkan untuk tetap tinggal dan menggarap lahan. Namun hal ini kerap dilanggar oleh pihak TNI AL. Dengan terjadinya beberapa intimidasi pada petani.

Bahkan sempat terjadi, rumah warga di Desa Sempol, Kecamatan Pagak, pernah dibongkar paksa oleh TNI AL. Dengan menggunakn tank perang untuk merobohkan bangunan rumah. Intimidasi ini, secara langsung juga merupakan pelanggaran persyaratan.

Pelanggaran ketiga, lanjut Hussairi, munculnya persoalan yang idealnya harus diselesaikan dengan musyawarah, tapi hanya diputuskan sepihak.

Seperti kasus yang dialami salah seorang warga di Kecamatan Bantur bernama Marsidin. Tanah yang digarapannya, diserobot dan tanamannya dirusak oleh oknum TNI AL Purboyo. Bahkan rumah dan gubuknya pernah diancam akan dirobohkan.

“Sudah bertahun-tahun petani seperti Marsidin diperlakukan secara sewenang-wenang. Bahkan ancamannya sempat menyebutkan, kalau warga tetap ngotot rumah mereka akan digilas pakai tank. Ini merupakan contoh yang tidak baik,” ungkap Hussairi.

Pelanggaran keempat, lanjutnya, ternyata tanah tersebut sempat disewakan ke pihak lain. Hal itu diketahui munculnya kehadiran PT Alugoro dan PT Jalatrada yang juga menggarap lahan.

Hal ini menyalahi persyaratan nomor sembilan yang berbunyi, Departemen Marinir Purboyo atau AL tidak diperbolehkan untuk memperusahakan tanah tersebut, perjanjian bagi hasil atau bentuk lain.

Di poin persyaratan nomor 12 menyatakan, hak atas tanah tersebut tidak boleh dialihkan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya tanpa memperoleh ijin terlebih dahulu secara tertulis dari Menteri Agraria.

Serta di poin nomor 13 mencantumkan, pemegang hak menjamin bahwa tanah tersebut betul-betul dipergunakan sebagai tempat latihan pertempuran tetap KKO/AL, perubahan penggunaan tanah tersebut, hanya diperbolehkan dengan ijin tertulis dari Menteri Agraria.

Pelanggaran kelima, latihan tempur seringkali mengakibatkan kerusakan pada tanaman warga. Dan selama ini tidak ada ganti rugi yang diberikan. Padahal dalam poin 10 SK 2 disebutkan, apabila penggunaan tanah tersebut ditimbulkan kerugian atau kerugian bangunan dan/atau tanaman penduduk/penggarap oleh penerima hak (Departemen AL KKO/Marinir) maka penerima hak diwajibkan untuk memberikan ganti rugi yang layak.

“Atas sekian pelanggaran tersebut seharusnya hak penggunaan lahan oleh TNI AL tersebut sudah gugur dan cacat hukum. Sehingga SK/32/M/PENG/65 tanggal 16 Juli 1965 itu batal demi hukum. Karena terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Marinir purboyo,” tegas Hussairi.

Ditambahkannya, semua pihak wajib menghormati aturan termasuk pihak TNI AL Purboyo. Sebagai prajurit yang secara sukarela menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mana tanah garapan eks perkebunan (Hak Erpach) bertujuan untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat. Serta memanfaatkan seluruh tanah di wilayah kedaulatan bangsa untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Didalam Pasal 21 UUPA menyatakan, bahwa hanya warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan tunggal yang dapat memiliki hak milik atas tanah. Dan semua yang memiliki tempat tinggal serta menggarap lahan eks Perkebunan Belanda di wilayah Kecamatan Pagak, Bantur, Gedangan dan Donomulyo mempunyai hak yang sama sebagai warga negara Indonesia.

“Maka sudah seharusnya warga di wilayah eks perkebunan menggarap lahan pertanian dan tempat bermukim tersebut secara aman dan nyaman tanpa adanya intimidasi dari oknum Marinir Purboyo,” pungkasnya. (Syaiful)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *