Budaya

Lampah Sesaji Rabuk Ayem Nagari

14
×

Lampah Sesaji Rabuk Ayem Nagari

Sebarkan artikel ini

Yogyakarta/suaraglobal.co.id ~

Berjalan dengan sunyi,
tanpa suara,
tanpa narasi,
tanpa seruan sikap.
Berbicara melalui simbol – simbol sesaji, sebagai bahasa komunikasi non verbal…

Yayasan Taman Sesaji Nusantara di dukung oleh berbagai komunitas budaya, kelompok lintas iman dan organisasi masyarakat menginisiasi gerakan “Lampah Sesaji Rabuk Ayem Nagari”.

Acara diselenggarakan
9/9/ 2025, pkl.21.00. Titik kumpul depan Hotel INA Garuda, Jl. Malioboro, Yogyakarta.

Di wawancarai suaraglobal.co.id, menjelang acara dimulai,
Ketua Umum Yayasan Taman Sesaji Nusantara, Ki Eko Handi Wiratirta, mengatakan :

~”Kami mengenakan pakaian adat dan tanpa alas kaki, dengan ‘tapa bisu’.

Lampah Sesaji Rabuk Ayem Nagari, berbicara melalui simbol-simbol sesaji sebagai bahasa komunikasi non verbal.

Maksud, tujuan, doa – doa dan pengharapan diwujudkan dalam berbagai benda uba rampe sesaji, seperti :

~Gedang Sanggan. Pisang raja setangkep dan isian sanggan. Simbolik Ageng engkang di pun gadang (harapan yang besar).

~Tumpeng Kapuranta, sebagai simbolik pemuliaan, permohonan maaf dan rasa sukur bahwa selama ini sudah di hidupi oleh tanah dan diperkenankan menumpang hidup diatas tanah.

~Tumpeng Tawa, sebagai simbolik “tolak bala” dan penawar dari segala bentuk niat buruk.

~ Tumpeng Robyong, simbolik tentang rasa sukur, juga harapan akan kemakmuran dan kesejahteraan hidup.

~Ingkung, Sejati kang jinangkung. Presentasi keinginan diri yang mendasar, sejujur-jujurnya yang sedang dialami dan sedang dirasakan memenuhi suasana batin.

~Jajan pasar, simbolik keberagaman, gotong royong dan kebulatan tekat antar unsur terkait.

~Tumpeng Panchabuta, simbolik harmonisasi manusia dengan alam dan unsur-unsur terkait didalamnya yang sedang disharmoni.

~”Tapa ngrame atau lampah bisu dalam keramaian ini bisa dimaknai juga sebagai ‘Lampah Samadhi Bantala’ atau Metode Meditasi Tanah yang dilakukan dengan cara berjalan membisu di keramaian tanpa alas kaki (nyeker), ini dimaksudkan untuk beberapa hal :
• Pribadi, peserta melakukan pembersihan diri dengan cara mentanahkan (groundhing) segala energi negatif, sakit penyakit dan segala bentuk kesialan hidup.

Secara pandangan sosial, sebagai respon terhadap situasi masyarakat, mengharmoniskan gejolak sosial yang memanas, melebur (groundhing) rekayasa konflik, kepentingan politik negatif dan mengutuk segala perilaku penguasa/pejabat tamak, licik, dusta, koruptor dan lain-lain.

Secara universal memuliakan alam. Mengharmonisasi manusia, leluhur dan setiap unsur organisme hidup di alam semesta”, lanjut Ki Eko Handiwiratirta memaparkan makna simbol – simbol ubarampe sesaji.

Sementara, Ki Hangno Hartono yang bertindak sebagai “Cucuk Lampah”, sambil memegang gulungan bendera putih mengatakan :
~”Ini untuk Beksan. Secara etimologi itu artinya pemujaan. Lampah sesaji itu ada beksannya. Dan bendera putih itu bermakna harapan, simbol kebersihan. Agar kita semua selalu ingat untuk selalu menjaga kebersihan hati. Menuju nagari yang bersih, menuju Indonesia yang bersih”

Acara diawali dengan menyusun barisan dan pembagian tugas untuk membawa berbagai ubarampe sesaji.

Yang menarik pada awal prosesi ini, tepat pada waktu yang ditentukan, sepanjang Jl.Malioboro terdengar ilustrasi musik kraton, gamelan Ladrang Nusantara (Nusantara) berkumandang serentak. Panitia penyelenggarakan melakukan koordinasi dengan berbagai pihak terkait sehingga memperoleh dukungan diputarnya musik keraton Ladrang Nusantara itu.

Cucuk Lampah mulai bergerak sambil memainkan Beksan mengkelebet – kelebetankan bendera putih, diikuti para peserta menyusuri Jl.Malioboro menuju O KM Yogyakarta.

Sesampainya di Titik Nol, semua peserta duduk bersila di trotoar. Berlangsung khidmat tanpa ada peserta yang bersuara. Juga tidak ada komando menggunakan megapon dari para korlap yang mengiringinya.

Setelah ujub sesaji ini peserta melakukan peleburan, tetap dengan diam.

Apa yang diucapkan, doa yang dipanjatkan dalam hati setiap peserta dan para pengiring Lampah Sesaji Rabuk Ayem Nagari ?
Tentu saja hanya mereka dan Tuhan saja yang tahu, karena mereka sengaja diam tak menyuarakan apa – apa melalui lisannya.
Mereka yakin Tuhan Maha Mendengar doa – doanya.

[Tito Pangesthi Adji]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *