Sidoarjo//suaraglobal.co.id — 15 September 2025, Langit biru Kota Delta Sidoarjo yang setia mengayomi kokohnya Candi Pari yang ada Desa Candi Pari Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo. Letak Candi Pari berjarak sekira 150 meter dengan Candi Sumur.
Bukti kejayaan Candi Pari dan Candi Sumur yang merupakan candi Hindu-Buda masih bisa dilihat pada saat ini. Kedua candi ini diperkirakan merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk, sekitar tahun 1.371 Masehi atau 1.293 Saka karena diatas pintu masuk Candi Pari tertera tulisan 1.293 Saka.
Berdasarkan cerita masyarakat sekitar asal usul Candi Pari dan Candi Sumur pada jaman dahulu di era Prabu Hayam Wuruk, ada seorang petapa bernama Kiai Gede Penanggungan yang sakti mandraguna. Ia tinggal bersama adiknya, Nyai Ijingan. Kiai Gede kemudian memiliki dua putri yang diberi nama Nyai Lara Walang Sangit dan Nyai Lara Walang Agin keduanya mempunyai paras yang cantik jelita. Sedangkan adiknya mempunyai putra bernama Jaka Walang Tinunu.
Ketika Jaka Walang Tinunu sedang asyik memancing, tiba-tiba muncul ikan Deleg dan ikan tersebut berubah wujud menjadi seorang pria. Pertemuan itu merupakan awal mereka bersahabat dan diajak pulang ke rumah Jaka Walang Tinunu.
Di dalam keluarga Walang Tinunu, pemuda jelmaan ikan Deleg tersebut diberi nama Jaka Pandelengan. Keduanya bekerja keras membuka hutan untuk dijadikan lahan sawah di sekitar pertapaan Kiai Gede Penanggungan.
Jaka Pandelengan ingin berguru pada Kyai Gede Penanggungan untuk menuntut ilmu. Kyai Penanggungan mau menerima jika dia mau menikahi putrinya yang belum menikah.
Kerja keras Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelangan kemudian mendapat perhatian dari kedua putri Kiai Gede Penanggungan.
Setelah beberapa tahun tinggal bersama Kiai Gede Penanggungan, Dewi Walangangin dan Jaka Pandelegan bermaksud menemukan hidup baru sebagai suami istri.
Sebelum pasangan tersebut pergi, Kiai Gede Penanggungan memberikan benih padi dan agar Dewi Walangangin dan Jaka Pandelegan memberikan benih padi tersebut kepada setiap orang yang meminta. Hal tersebut memberi arti agar jangan berlaku sombong jika kelak sudah menjadi orang kaya.
Jaka Walang Tinunu jatuh hati pada Nyi Lara Walang Sangit, sedangkan Jaka Pandelengan mencintai Nyai Lara Walang Angin. Selepas menikah, mereka lebih rajin lagi bekerja di ladang.
Hasil kerja keras mereka membuahkan hasil panen yang melimpah ruah.
Keberhasilan mereka menggarap lahan terdengar sampai kerajaan yang pada saat itu sedang mengalami paceklik. Raja Hayam Wuruk lalu meminta kepada Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelengan untuk membagikan hasil panennya kepada rakyat yang membutuhkan.
Titah sang raja pun dikabulkan
kedua pasang suami istri itu dengan membagikan hasil panen ke rakyat Majapahit yang membutuhkan.
Raja Hayam Wuruk merasa bangga melihat apa yang dilakukan kedua pasang suami istri tersebut. Kemudian memanggil mereka ke kerajaan akan diangkat menjadi keluarga kerajaan, namun tawaran itu ditolak.
Akhirnya, Raja Hayam Wuruk mendatangi langsung ke tempat tinggal Jaka Pandelengan dan Jaka Walang Tinunu. Alangkah terkejutnya Hayam Wuruk setelah mendapatkan penjelasan dari Kiai Gede Penanggungan bahwa keduanya itu merupakan putra raja sendiri.
Meski berstatus anak raja, namun Jaka Pandelengan dan Jaka Walang Tinunu tidak mau menemui Hayam Wuruk. Mereka memilih bersembunyi, kemudian sang raja memerintahkan pengawalnya untuk mencari mereka.
Akhirnya, Jaka Pandelengan memilih moksa (menghilang) di lumbung padi. Sementara Nyai Lara Walang Angin moksa di sumur dekat lumbung padi.
Melihat kenyataan itu, Raja Hayam Wuruk sedih. Dia lantas memerintahkan pengawalnya untuk membuatkan dua candi yang diberi nama Candi Pari dan Candi Sumur.
Hingga saat ini kedua candi itu masih dilestarikan sebagai cagar budaya, dan tak jarang dimanfaatkan oleh pelajar untuk mendalami budaya bangsa yang adi luhung.
Naning