Budaya

Sindikat Tuak Perempuan Rumah Sastra Evi Idawati

55
×

Sindikat Tuak Perempuan Rumah Sastra Evi Idawati

Sebarkan artikel ini
Oplus_131072

Yogyakarta/ suaraglobal.co.id

Pementasan *”Sindikat Tuak Perempuan”* telah berlangsung dengan sukses, di selenggarakan di Auditorium Rendra, ISI Yogyakarta (20/9/2025).

Selang sehari kemudian, suaraglobal.co.id baru berhasil menjumpai Penulis naskah sekaligus founder *Rumah Sastra Evi Idawati*.
dan meminta kesediaannya mengungkap dunia batin perempuan juga konsep – konsep kreatifnya.

~” Orientasi kami adalah mengeksplorasi karya sastra untuk berkolaborasi dengan karya – karya seni yang lain,” kata Penulis naskah yang juga bertindak sebagai Sutradara bersama Maharani Khan Jade.

“Jadi ini basic dasar penciptaan karya kreatif adalah karya sastra.
Makanya kemudian anak – anak yang bergabung di Rumah Sastra adalah seorang penulis. Mereka menciptakan, kreator, konseptor. Karena mereka menulis dan kemudian mengembangkan karyanya dengan media film, panggung, musik dan seni rupa.

Oleh karenanya ketika saya sebagai founder Rumah Sastra Evi Idawati, harus memberi contoh yang konkrit kepada mereka. Maka pementasan kemarin kami mulai dengan penggalian teks naskah sastra yang kami miliki.

Puisi saya yang berjudul : ‘Menjadi Seorang Perempuan’, sudah diterbitkan di dalam buku ‘Perempuan Yang Matanya Ditumbuhi Dendam Dan Kasih Sayang’, Th.2018.
Dari puisi itu kemudian saya kembangkan menjadi naskah drama berjudul :
‘Sindikat Tuak Perempuan’. Naskah ini dimainkan oleh 20 anak dari *Piwulang Sastra*

Piwulang Sastra itu salah satu program yang ada di Rumah Sastra Evi Idawati, yang khusus memprovokasi
para remaja, terutama anak – anak SMA dan Mahasiswa untuk lebih menyukai dan mengakrabi sastra, dan menjadikan ‘sastra menjadi gaya hidup mereka dimanapun berada’.
Maka kolaborasi terhadap semua ranah seni itu menjadi salah satu cara kami untuk membuat mereka enjoy menikmati kegembiraan dan juga kebahagiaan ketika berkutat dengan dunia sastra.
Maka saya memilih anak – anak terbaik yang ada disana, kami buat pementasannya, bukan hanya soal teks.

Kalau ingin mengembalikan teater sebagai nilai paling awal yang dilakukan, yaitu sebagai pencerna. Maka yang dikuatkan adalah kekuatan kata sebagai mantra untuk menggedor pikiran dan hati.
Apalagi ketika kita bicara soal perempuan. Nah, apa yang terjadi ?

Kenapa saya harus memilih itu, mengembangkan eksplorasi karya puisi saya dan menjadi naskah drama dengan judul “Sindikat Tuak Perempuan” ?
Saya ingin mengatakan bahwa, dunia digital saat ini nyaris tidak bisa dijadikan landasan untuk menebak atau melihat, atau mendengar sesuatu yang paling hakiki, yaitu : kebenaran dan kebaikan.
Apalagi itu terjadi pada perempuan ketika mereka sudah mulai masuk dengan ruang bernama kerudung yang disebut keshalehan, dogma agama, mereka menipu semua orang dengan itu, dan kemudian menampilkan dirinya seolah – olah menjadi orang yang shaleh yang begitu baik dengan citra yang dibangun di media sosial, yang berbeda dengan kenyataan yang ada di dunia nyatanya.

Saya ingin mendobrak itu dan meneriakkan : kalau kekuatan utama seorang perempuan, dia mengerti dan mengetahui bahwa dia menjadi rahim bagi kebaikan.
Seluruh kebaikan di dunia ini lahir dari dirinya.
Kalau perempuannya tidak bener maka semuanya akan menjadi tidak bener juga. Tidak akan ada rahim kebaikan.

Padahal dunia ini dihuni bukan hanya orang baik – baik.
Tapi juga orang – orang jahat. Maka teriakan – teriakan kami melihat fenomena seseorang bisa menipu temannya sendiri sesama perempuan hanya untuk duit,
hanya untuk uang mereka mengambil dan menikmati sebagai bagian dari keshalehan mereka. Tipuan terhadap hal itu membuat, ya, saya sengaja menjadikan audien saya itu anak – anak muda, agar mereka bisa membolak – balik pikiran dan punya waktu untuk merenungkan kata – kata yang saya buat didalam teks sastra.
Kalau orang tua untuk membuat mereka berubah saya harus menggempur lebih banyak lagi.
Tapi kalau itu anak remaja Gen Z, anak SMA, anak kuliah maka perenungan itu bisa masuk dalam hatinya dan akan membuat perubahan didalam dirinya. Harapannya begitu. Masalahnya sampai atau tidak ?

Yang penting kita lakukan terus – menerus agar jangan terpaku dan tertarik serta melibatkan diri terlalu akrab dengan dunia digital yang semu…”

~”Tadi disebutkan bahwa latar belakang dari para pemain lintas disiplin, ya ? Ada sastra, teater, musik. Lantas ada nggak kebaharuan dari pergelaran ‘Sindikat Tuak Perempuan’ ? ”

~”Kami berteriak bersama – sama untuk menyadarkan perempuan gender kita. Bahwa perempuan itu tidak akan pernah mati.
Segala yang berkaitan dengan dirinya, emosi, pikiran dan gerakan – gerakan itu menjadi milik para perempuan.

Jika perempuan diberi kekuasaan, mungkin… barangkali..kita sudah bisa membaca apa yang terjadi.

Legenda – legenda perempuan dunia begitu hebat dan luar biasa ketika mereka memegang kekuasaan.
Tapi keshalehan juga hadir diantara mereka.
Hanya, masalahnya : seberapa yang shaleh dan seberapa yang tidak ?

Ketika keshalehan untuk memanipulasi kemudian melakukan tindakan – tindakan yang tidak pada tempatnya, kekerasan, menipu, itu menjadi bagian dari proses panjang setiap orang harus di sadarkan, untuk tahu bahwa perempuan memiliki cirinya sendiri.
Selama dia punya kekuatan untuk berbuat baik, maka kemudian dia bisa melangkah dan melahirkan banyak kebaikan”,
pungkasnya.

Tito Pangesthi Adji

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *