Gunungkidul//suaraglobal.co.id/
Di sebuah aula sederhana, suara kursi berderit ketika orang tua murid mengambil tempatnya. Senyum menyapa, kata-kata sambutan mengalir seperti doa.
Di setiap awal tahun ajaran, orang tua murid biasanya diundang hadir ke rapat sosialisasi program sekolah. Suasana resmi, penuh kata-kata bijak, dan selalu ada pembahasan tentang program-program mulia untuk kemajuan anak-anak. “Demi masa depan anak-anak kita…” “Demi kemajuan bersama…” “Demi pendidikan yang berkualitas.” Kata-kata itu jatuh ke telinga seperti embun: jernih, sejuk, dan sulit ditolak.
Lalu tibalah giliran kata yang paling manis namun paling rawan: sumbangan sukarela. Dalam kamus ia berarti “tanpa paksaan”. Namun entah mengapa, di ruang itu ia berubah menjadi tanda tanya besar. Sukarela… tapi kok terasa wajib?
Suasana sejenak hening, wali murid yang hadir menatap tanpa ekspresi, ada yang menunduk, ada yang bermain ponsel, bahkan tidak ada yang bertanya, menyanggah, ataupun menanggapi, mungkin ingin segera selesai dan kembali bekerja.
“Sukarela sejati bukanlah memberi karena terbebani, melainkan memberi karena hati benar-benar terbuka.”
Tak ada yang memaksa, tak ada ancaman. Namun susunan kalimat yang indah dan semangat gotong royong yang dikumandangkan sering membuat para orang tua sungkan untuk berkata “tidak”. Sumbangan yang semestinya lahir dari keikhlasan pun bertransformasi menjadi kewajiban moral yang tak tertulis.
Padahal setiap orang tua memiliki kisah dan kemampuan yang berbeda-beda. Ada yang lapang, ada yang tengah berjuang. Ada yang mampu menyumbang uang, ada pula yang mungkin lebih siap menyumbang waktu, pikiran, atau tenaga. Semua sama-sama peduli pada pendidikan anak, hanya jalannya yang berbeda.
Di tengah semua ini, bukankah yang paling kita harapkan adalah keteladanan? Kejujuran, keterbukaan, dan keikhlasan yang benar-benar ikhlas. Karena bagaimana kita, para orang tua dan pihak sekolah, bersikap hari ini akan menjadi pelajaran diam-diam bagi anak-anak: apakah keikhlasan itu sungguh lahir dari hati, atau sekadar kata manis yang kita ucapkan?
“Sukarela itu memberi dengan bebas, bukan dibebaskan untuk memberi.”
Mungkin sudah saatnya kita bersama-sama merenung. Sebab sukarela sejati bukanlah memberi karena terbebani, melainkan memberi karena hati benar-benar terbuka. Di sanalah pendidikan bermula — bukan hanya dari ruang kelas, tapi dari teladan kecil yang kita ciptakan bersama.
(B’Djo Ludiro)