Yogyakarta/suaraglobal.co.id/catatan-budaya
Kabar duka tentang meninggalnya Ketua Umum BPI (Badan Perfilman Indonesia), Gunawan Paggaru, (Senin, 27/10/2025) sungguh merupakan berita yang sangat mengejutkan dan memilukan hati.
Betapa tidak ?
Baru 2 hari berselang, beliau membersamai kami dalam kegiatan Camp Film Workshop Tuksonofest, (22 – 24 Oktober 2025), yang di selenggarakan di Taman Bendung Kanijoro, Tuksono, Kulon Progo, Yogyakarta.
Pada Hari Pertama Tuksonofest, 22/10/2025, Ketua Umum BPI yang berprofesi Sutradara dan Penulis Skenario itu, memberi materi kuliah umum pada peserta Camp Film, tentang Management Produksi Film.
Malamnya, beliau hadir pada acara Pemutaran 4 Film Pendek dan diskusi.
Banyak pesan yang di sampaikan.
Pada Hari Kedua, 23/10/2025, malam, beliau hadir dan diskusi hingga larut malam.
Hari Ketiga, Ketua BPI periode 2021 – 2025, yang sebelumnya menjabat Ketua Umum KFT Indonesia ini juga hadir dalam simposium, yang mengangkat tema : “Film Kita Wajah Budaya Kita”,
yang di selenggarakan Mantis.Lab melalui kegiatan Camp Film Tuksonofest – 2025.
Simposium yang di moderator Nyang Tanka, Pendiri Mantis.Lab berlangsung
pada 24 Oktober 2025,
pukul 15:00 – 17:30.
Simposium ini menghadirkan sejumlah narasumber :1. Gunawan
Paggaru
(Sutradara,
Penulis
Skenario)
2. Whani
Darmawan
(Aktor)
3. Bejo Sulaktono
(Sutradara)
4. Sella Trouerbach (Kritikus Film)
5. Yahdi Jamhur
(Sutradara)
6. Rizal
Djibran
(Aktor)
7. Mubari
(Ketua
Desa
Budaya)
8. Nurul Muslimin
9. Para sineas dan budayawan
Inilah yang di sampaikan Gunawan Paggaru dalam Simposium, yang mengangkat tema :
“Film Kita Wajah Budaya Kita”
~ : “Ini menarik. Semua tadi, yang dibicarakan itu, menjadi beban kita semua.
Saya mengapresiasi sebuah film, nonton film yang diproduksi dalam bentuk FTV, dan itu pemenang di Piala Maya.
Sutradaranya, seorang sobat juga, FX.Purnomo.
Itu mengangkat persoalan budaya. Betul – betul mengangkat satu kehidupan ..apa ya…seperti Mas Tito ngomong tentang budaya tadi.
Saya sering kesal kalau ada yang bilang : ada kesenian ada budaya. Karena kesenian itu bagian dari budaya. Kecil. Pada kita diperkecil masalah budaya itu.
Ini kan yang kita pertanyakan, temanya : Film Kita Wajah Budaya Kita.
Ada dua hal yang berbeda :
1.Wajah Film Indonesia. Beda itu. Kemarin saya membuat konferensi terkait dengan : “Wajah Film Indonesia”.
Nah, wajah film Indonesia saat ini, ya itulah yang ada sekarang. Kebanjiran horor. Iya kan ?
Sedangkan persoalannya adalah :
Definisi Film Indonesia itu kayak apa sih ?
Yang dimaksud Film Indonesia itu apa ?
Nah, ini menurut saya, pertemuan kita saat ini, mudah – mudahan bisa memberikan satu pandangan, minimal ada satu rekomendasi.
Contoh,
apakah itung – itungan ? Kalau di undang-undang itung-itungan. Soalnya.kalau di undang-undang, Film Indonesia adalah : orang yang terlibat dalam produksi film, minimal 60 %
Nah , itu kan itung-itungan ?
Apakah kita mau gitu ?
Apakah Film Indonesia, produsernya harus orang Indonesia ?
Sementara kita berada di era globalisasi. Bisa saja produsernya dari sana. Yang begitu bisa terjadi kan ?
Pertemuan.kita sekarang ini mudah-mudahan bisa memberikan rekomendasi.
Kenapa ? Karena itu akan sangat mempengaruhi Festival Film Indonesia.
Festival Film Indonesia apa acuannya ? Kalau acuan tadi memang sesuai dengan tema kita, ya itu yang harus jadi acuan.
Teman-teman mudah-mudahan mengamati perkembangan FFI 5 th – 10 Th kedepan.
[Pembahasan terjeda adzan Maghrib]
~”Terkait dengan ‘Wajah Budaya Kita’, tadi Mas Tito sempat nyinggung Film November 1828 ; memang kuat sekali disitu.
Akhirnya kita bisa melihat apa yang terjadi disekitar kita, risetnya harus kuat. Jangan ngarang. Ini pentingnya literasi dan riset tadi.
Supaya tidak ngarang, hal itu dilakukan di produksi November 1828 tadi.
Saya kebetulan terlibat di pasca produksinya, sebagai assisten editor pada waktu itu.
Saya pernah mempertanyakan itu sama Pak Teguh Karya, kalau temen-temen cermati film itu melibatkan Antropolog UI, Pakar ekonomi dan lain – lain. Film itu melibatkan banyak disiplin. Pertanyaan saya pada Pak Teguh Karya, mengapa dia memakaikan sepatu pada tentara bayaran. Jaman itu tentara bayaran yang banyak dari timur. Ini sejarahnya tidak begitu. Dan para sejarawan, antropolog marah dan menentang itu.
Ini masalah sikap-sikap.
Apa jawaban Pak Teguh ?
“Saya tidak mau melihat rakyat saya disiksa, tidak mau melihat rakyat menderita!
Nah, ini kan sebenarnya film fiksi berlatar sejarah. Ini kan perbedaannya, maka cara berfikir ya juga berbeda. Ini harus jelas.
Tapi kalau kita mau balik ke tema kita, ya rekam sesuai dengan budayanya, dan paling kuat dalam informasi yang harus kita sampaikan. Kita sangat kaya kok.
Mas Tito tadi di Tuksono ini saja banyak yang bisa diangkat, berapa judul pun bisa dibuat.
Dan, apa yang terjadi di Amerika
Sekarang ini? film-filmnya semua sudah di remake karena ceritanya ya cuma itu-itu.
Kita kaya banget lho, sangat kaya.
Nah ini kalau kita bisa buat satu kesepakatan gitu. Wajah film kita harusnya ya kidung, sikap ..dari pada ngomongin angka-angka tadi kan?
Film Kita, kalau di undang-undang, kan angkanya 60% .
Ada lagi nih, film Indonesia adalah : berbahasa Indonesia.
Nah, ini persoalan. Nusantara itu terdiri banyak suku bangsa dan memiliki bahasa 700 sekian bahasa.
Itu kan artinya ‘lo memiskinkan diri lo’.
Kita kaya, tapi dimiskinkan oleh aturan-aturan yang nggak jelas .
Tolong simposium ini ditindaklanjuti supaya yang di Jakarta itu denger. Kalau saya ngomong sendiri, kan mereka pada kabur soalnya.
Sebagai film maker, harus punya sikap
• Anda mau ngomong apa ?
• Kenapa harus ngomongin itu,
apa yang ingin dicapai ?
Ini paling penting !”, begitu yang diucapkan Alm.Gunawan Paggaru, pada Simposium Camp Film Tuksonofest, tgl 24 Oktober 2025 kemarin lusa.
Saya masih menyimpan beberapa rekaman percakapan almarhum dalam kegiatan Tuksonofest yang belum sempat saya tuliskan.
Selamat Jalan Sahabat ;
Tito Pangesthi Adji.











