Kulon Progo/suaraglobal.co.id
Kalimat yang oleh suaraglobal dikutip sebagai judul tadi, diucapkan oleh (Alm) Gunawan Paggaru pada sesi diskusi, setelah nonton bareng 4 film yang diputar di amphytheater, Taman Bendung Kanijoro, Tuksono, Kulon Progo, Yogyakarta (23/10/2025)
Untuk Tuksonofest tahun ini, Mantis.Lab yang menginisiasi Camp Film Workshop di Taman Bendung Kanijoro, mengangkat tema : “Film Kita Wajah Budaya Kita”.
Panitia menghadirkan sejumlah film maker yang karyanya diputar, juga para narasumber, termasuk Sella, seorang kritikus film asal Yogyakarta.
Seperti apa Sella mengkritisi film Indonesia ?
~ “Kalau misalnya nonton film, jelek – bagus saya tonton, kalau saya ya. Tapi saya akan mencari, kenapa saya suka nonton film ini ? Atau, kenapa saya tidak suka film ini ?
Jadi ketika ditanya ‘kenapa kamu nggak suka film ini’, tahu alasannya.
Gimana caranya ?
Dibedah film ini. Jadi nonton itu bukan nonton saja. Tapi membaca, pesannya apa ? Tersampaikan dengan baik nggak ?
Dari situ, teman-teman yang ada disini, yang mau jadi film maker itu bisa belajar sebenarnya.
Saya basicnya bukan film. Tapi saya bisa tahu, kan, ini yang nulis di ini nih. Karena saya nggak cuma nonton, tapi saya perhatikan. Jadi ketika jadi ‘penonton kritis’ itu juga belajar bagi kita sendiri.
Tersinggunglah sekarang. Mulai sekarang tersinggunglah ketika mulai nonton film. Itu saja sih. Thank you “, kata Sella setelah sebelumnya menceritakan bahwa sejak kecil memang telah suka menonton film.
Dia banyak mengkritik tentang film horor yang belakangan membanjiri peredaran film nasional.
Bukan soal temanya, genrenya. Tapi penggarapannya yang asal-asalan, tanpa riset dan mengabaikan nilai – nilai budaya yang seharusnya disampaikan secara baik.
Para peserta camp film workshop banyak yang menanggapi tema yang diangkat dalam diskusi ini. Pada persoalan – persoalan yang rumit, pembawa acara melemparkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada Gunawan Paggaru, seorang Sutradara dan Penulis Skenario, yang juga pernah menjadi Produser.
Gunawan Paggaru juga menceritakan bahwa kecintaannya pada film, itu juga tumbuh sejak masih kecil. Orang tuanya adalah pengusaha bioskop misbar (jika gerimis bubar) di Sulawesi.
Dari sanalah terbentuk keinginannya menggeluti dunia film, dan mulai menapaki kariernya di Jakarta.
“15 tahun saya nyantrik di Teater Populer. Sebentar kan ?
Ikut Pak Teguh Karya.
Di sanggar, diwajibkan untuk setiap hari nonton film, dan membuat resensi. Itu tugas. Kalau tidak mengerjakan tugas nggak dikasih makan.
Pak Teguh Karya dan Mas Slamet Rahardjo itu kejam. Kalau nggak kerjakan tugas ya nggak boleh makan. Ini soal disiplin. Olah tubuh, nonton film, magang produksi, diskusi.
Didikan Pak Teguh Karya ini membentuk para anggotanya, ya yang jadi aktor, yang jadi pekerja film, semua harus disiplin dan punya sikap dalam menghadapi kondisi perfilman.
Nah, menanggapi pertanyaan tadi, pendek saja sebenarnya.
Kalau ini nanti (Tuksonofest) tahun depan atau kapanpun, atau kalau kegiatan-kegiatan seperti ini diselenggarakan, *buatlah semakin banyak orang yang tersinggung* (nonton film Indonesia).
Itu saja sebetulnya.
Jika penontonnya semakin kritis, tidak mau menonton film yang asal-asalan, nanti kan para sineasnya harusnya tahu diri. Lalu membuat film dengan serius dan hati-hati.
Buatlah semakin banyak orang tersinggung. Minimal itu dijadikan satu tuntutan agar kwalitas film semakin baik. Semakin bermutu. Dan menunjukkan wajah budayanya.
Dan itu bisa dilakukan !”
Nah, caranya bagaimana ?
Silahkan dicari bagaimana ?”
Tito Pangesthi Adji











