Yogyakarta/Suaraglobal.co.id/ Ketua Pasri (PaguyubanSeni Tradisi), Nano Asmorondono menyampaikan keprihatinannya terhadap perkembangan budaya yang terus digerus oleh teknologi seiring berjalannya waktu.
” Budaya asli Jogja hanya jadi asesoris semata. Ditampilkan saat seremonial tetapi setelah itu terpinggirkan dari kiprah kebudayaan DIY. Budaya Etnis digusur dari Tengah ke pinggir. Juga budayawanya, mirip atraksi kebun budaya. Orang datang berduyun2 gratis lalu pulang. Gak punya lagi tanah adat, kehilangan representasi dari kibar budaya kota budaya. Baik pendidikan, politik juga budaya”, ungkapnya pada sela-sela diskusi.
Sementara itu, Joko Santosa, Seorang penulis novel, penulis naskah, dan pemerhati budaya juga menyampaikan keprihatinan yang sama,. Bahwa menurut beliau, fenomena ini sangat menyentuh persoalan yang jauh lebih dalam dari sekadar “budaya hanya jadi asesoris.”
Ini menyangkut posisi dan martabat budaya etnis lokal di tengah pusaran pariwisata, ekonomi, dan politik di Yogyakarta.
Menurut Joko Santosa, Banyak acara di DIY memang memamerkan budaya lokal hanya saat seremoni dan sering kali berhenti di level “atraksi.” Nilai filosofis, fungsi sosial, dan peran budayawan diabaikan setelah kelir ditutup. Ini membuat budaya kehilangan daya hidupnya, karena ia tidak lagi menjadi panduan kehidupan sehari-hari.
Beliau juga berpendapat bahwa ahan adat berkurang, ruang tampil berkurang, bahkan akses ke kebijakan budaya pun menyempit. Ironisnya, branding “Kota Budaya” tetap digunakan untuk menarik wisatawan dan dana, tapi pelaku asli budayanya malah makin tersingkir. Orang datang, menonton, memotret, lalu pulang tanpa keterlibatan lebih jauh. Budaya jadi objek tontonan, bukan ekosistem yang dihidupi bersama.
Saat komunitas kehilangan tanah adat, mereka bukan cuma kehilangan aset ekonomi, tapi juga kehilangan episentrum spiritual, sosial, dan budaya. Tanah adalah arsip hidup, di sanalah tradisi berakar dan berkembang.
Namun demikian, Joko Santosa juga menyampaikan pendapat untuk solusinya,
“Mungkin, perlu mengubah relasi antara budaya, ekonomi, dan kebijakan. Bukan lagi budaya sebagai alat propaganda, tapi sebagai landasan pembangunan”, ungkapnya.
Sementara itu, Dalijo Angkring, pelawak dan juga budayawan, mengungkapkan bahwa, “Hasil karya seni tidak hanya sebagai komoditi semata namun terus mengalir pada nasi kehidupan yang terus menerus… tidak hanya sepasar bubar tapi terus bergerak, jangan setelah itu mak pet..! kaya orong orang kepidak mandheg greg..! ilang musna gemanya”.
Lalu akankah budaya Nusantara akan menjadi landasan dan pedoman dalam mengatur tata hukum, tata hidup berbangsa dan bernegara ? , seharusnya kita belajar dari banyak pengalaman perjalanan sejarah negeri kita sendiri, dan negeri diluar sana.
(Ss)