Budaya

Falsafah Curiga Manjing Warangka Warangka Manjing Curiga

14
×

Falsafah Curiga Manjing Warangka Warangka Manjing Curiga

Sebarkan artikel ini

Yogyakarta/ suaraglobal.co.id – Budaya – Setiap memasuki pergantian tahun penanggalan Jawa, dalam menyambut bulan Sura, masyarakat Jawa merayakannya dengan berbagai upacara adat tradisi.

Ada yang melakukan Tapa mBisu Mubeng Beteng (berjalan mengelilingi Beteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan berpantang bicara selama prosesi berlangsung).
Ada yang melakukan tirakat dan Laku Kungkum (berendam di sendhang, sungai, muara). Ada yang tetirah di pantai atau di gunung.
Pada esensinya mereka melakukan berbagai upaya untuk mawas diri, serta membersihkan diri di penghujung pergantian tahun, agar bisa memperbaiki kesalahan kekhilafan di waktu yang telah berlalu. Spirit itu yang mendasari lelaku menyambut tahun baru.

Sepanjang bulan Sura itu, banyak dilakukan juga upacara Jamasan Pusaka, atau membersihkan berbagai benda pusaka dan tosan aji.

Istilah Tosan Aji tidak hanya untuk menyebut keris saja, tetapi juga mencakup berbagai bentuk dan jenis lainnya, seperti : pedang, tumbak, trisula, canggah, bethok, patrem, cundrik… dan sebagainya.

Sewaktu menghadiri mengunjungi Musium & Galery Keris, Sanggar Keris Mataram Yogyakarta, awal Suro yang lalu, (Juni 2025)
saya mencoba menggali informasi seluas – luasnya tentang keris.
Kunjungan ke Musium & Galery Keris Sanggar Mataram Yogyakarta itu, saya di temani Jurnalis Suara Global, Kabiro Sleman, Nur Iswantoro.

Kepada suaraglobal.tv Pandu mewakili pengelola SKM memberikan penjelasan informasi lengkap akan hal – hal yang saya tanyakan :

~”Adat tradisi jamasan itu merupakan upaya perawatan benda warisan budaya leluhur Jawa dan Nusantara, juga bentuk penghormatan kepada para empu pembuatnya.

Keris dapat disebut sebagai penanda peradaban Nusantara. Keris telah menjadi bagian penting dari budaya dan sejarah Indonesia sejak abad ke-8 Masehi, dengan bukti arkeologis dan literasi yang menunjukkan keberadaannya dalam masyarakat Jawa dan Nusantara.

Keris memiliki makna yang mendalam, tidak hanya sebagai senjata, tetapi juga sebagai simbol status sosial, kekuatan spiritual, dan keindahan. Setiap keris memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri, dengan bentuk, ukuran, dan motif yang berbeda-beda.

Selain perihal fisik bendanya, keris juga menjadi simbol keilmuan sebagai sarana peraga untuk menjelaskan falsafah :

~”Curiga Manjing Warangka, Warangka, Manjing Curiga”

Falsafah Jawa “Curiga manjing warangka, Warangka manjing curiga” memiliki makna yang mendalam dan terkait dengan konsep spiritualitas Jawa, termasuk Manunggaling Kawula Gusti.”

Menyentuh ranah falsafah dan keilmuan Jawa tentang : ‘Sangkan Paraning Hurib Kasampurnaning Dumadi’, wawancara ini kemudian berkembang menjadi sebuah diskusi, saling melengkapi dengan referensi dan literasi terkait, juga tentang pendapat sendiri yang masih harus diuji :

~”Curiga” dalam konteks ini merujuk pada keris, sedangkan “warangka” merujuk pada sarung atau wadah keris. Falsafah ini dapat diartikan sebagai “Keris masuk ke dalam sarung, Sarung masuk ke dalam keris”.

Makna dari falsafah ini adalah tentang kesatuan dan keseimbangan antara dua hal yang berbeda, yaitu keris (simbol kekuatan, keberanian, dan spiritualitas) dan warangka (simbol wadah, perlindungan, dan keseimbangan). Dalam konteks spiritualitas Jawa, falsafah ini dapat diartikan sebagai kesatuan antara individu (keris) dengan Tuhan (warangka), atau antara manusia dengan alam semesta.

Manunggaling Kawula Gusti adalah konsep spiritualitas Jawa yang berarti “kesatuan antara hamba (manusia) dengan Tuhan”. Konsep ini menekankan pentingnya kesadaran akan kesatuan dan keseimbangan antara individu dengan Tuhan, serta kesadaran akan peran individu dalam alam semesta.

Dalam konteks ini, falsafah “Curiga manjing warangka, Warangka manjing curiga” dapat diartikan sebagai refleksi dari konsep Manunggaling Kawula Gusti, yaitu kesadaran akan kesatuan dan keseimbangan antara individu dengan Tuhan, serta kesadaran akan peran individu dalam alam semesta.

Dengan demikian, falsafah ini dapat menjadi pengingat untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi dan kesadaran akan kesatuan dengan Tuhan.

***
Literasi terkait keris banyak ditemukan dalam naskah-naskah kuno Jawa, seperti:

1.Serat Centhini Naskah Jawa yang membahas tentang spiritualitas, filsafat, dan budaya Jawa, termasuk keris.

2.Serat Kanda Ngilmu Naskah Jawa yang membahas tentang pengetahuan dan spiritualitas, termasuk makna dan simbolisme keris.

3.Babad Tanah Jawi Naskah Jawa yang membahas tentang sejarah dan budaya Jawa, termasuk peran keris dalam masyarakat Jawa.

Perbincangan kami juga menyoroti tentang eksoteris – isoteris sebuah keris.

~”Dalam konteks eksoteris, keris dapat diartikan sebagai simbol kekuatan, keberanian, dan status sosial. Sementara itu, dalam konteks isoteris, keris dapat diartikan sebagai simbol spiritualitas, kekuatan batin, dan koneksi dengan alam semesta” ungkap Pandu.

~”Keris juga memiliki makna yang berbeda-beda tergantung pada jenis, bentuk, dan motifnya. Misalnya, keris dengan motif naga atau ular dapat diartikan sebagai simbol kekuatan dan keberanian, sementara keris dengan motif bunga dapat diartikan sebagai simbol keindahan dan kesucian”, lanjutnya seraya mengajak kami melihat – lihat koleksi Musium & Galery Keris Sanggar Mataram Yogyakarta.
Musium ini beralamat di :

Dusun Donitirto 9, Bangunjiwo, Kasihan Bantul. Daerah Istimewa Yogyakarta.

~”keris memang memiliki sejarah yang panjang dan kompleks dalam budaya Nusantara, termasuk sebagai senjata perang dan simbol spiritualitas.

Pada era Kerajaan Singhasari dan Majapahit, keris digunakan sebagai senjata perang dan simbol kekuatan.

Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada , di ilustrasikan dengan menghunus kerisnya merupakan salah satu contoh penting dari peran keris dalam sejarah Nusantara. Sumpah Palapa adalah sumpah yang diucapkan oleh Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit..”, saya menimpali.

~”Pada era Kerajaan Islam Demak, keris juga digunakan oleh para Wali sebagai simbol spiritualitas dan kekuatan. Para Wali menggunakan keris sebagai bagian dari ritual dan spiritualitas mereka.
Gambar – gambar yang beredar tentang Walisanga, memperlihatkan bahwa para wali Tanah Jawa itu juga bersenjatakan keris yang terselip dibalik jubahnya..”, lanjut saya.

~” Ya, ya..Namun, setelah VOC dan Belanda menguasai Nusantara, banyak benda-benda pusaka dan pustaka Nusantara yang dibawa ke Belanda. Banyak koleksi museum di Belanda yang memiliki benda-benda pusaka dan pustaka Nusantara, termasuk keris…”, Kabiro Sleman Nur Iswantoro menambahkan keterangannya.

~”Beberapa contoh museum di Belanda yang memiliki koleksi benda-benda pusaka dan pustaka Nusantara adalah:

~Rijksmuseum voor Volkenkunde (Museum Nasional untuk Etnologi) di Leiden

~Tropenmuseum di Amsterdam

Kedua museum ini memiliki koleksi benda-benda pusaka dan pustaka Nusantara yang sangat luas, termasuk keris, wayang, dan naskah-naskah kuno…”

Literasi tentang sejarah keris dan benda-benda pusaka Nusantara dapat kita temukan dalam berbagai sumber, termasuk buku-buku sejarah, artikel ilmiah, dan dokumentasi museum.

Beberapa contoh buku yang membahas tentang sejarah keris dan benda-benda pusaka Nusantara adalah:

~”Keris: Sejarah dan Filosofi” oleh Haryono Haryoguritno

~”Benda Pusaka Nusantara: Sejarah dan Makna” oleh T.E. Behrend

Dengan demikian, keris dan benda-benda pusaka Nusantara memiliki sejarah yang panjang dan kompleks, dan banyak koleksi museum di Belanda yang memiliki benda-benda pusaka dan pustaka Nusantara.

Wawancara khusus suaraglobal.co.id dengan wakil pengelola management Musium & Galery Keris Sanggar Keris Mataram Yogyakarta, mengingat begitu luas ranah pembahasannya, rangkuman wawancara dan diskusi kami akan saya tuliskan kedalam beberapa bagian.

Wawancara oleh : Kabiro Sleman & Kabiro Kulon Progo,
Penulis Tito Pangesthi Adji

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *