Opini

Konflik Elit Sidoarjo Untuk Kepentingan Siapa

53
×

Konflik Elit Sidoarjo Untuk Kepentingan Siapa

Sebarkan artikel ini
Obrolan para aktivis dan budayawan di warkop pojok pada 22/9/2025

Sidoarjo//suaraglobal.co.id – Perseteruan antara Bupati dan Wakil Bupati Sidoarjo mendapatkan berbagai tanggapan dari berbagai elemen masyarakat. Termasuk para aktivis kota delta yang tergabung dalam Gerakan Non Blok (GNB) juga bersuara terkait konflik antara Bupati versus Wakil Bupati (Wabup) Sidoarjo yang menyeruak ke ruang publik belakangan ini.

Benih benih perseteruan antara dua pucuk pimpinan di Kabupaten Sidoarjo ini sudah terlihat sejak awal seratus hari kerja mereka (Bupati dan Wabup Sidoarjo red). Dalam satu minggu ini riak riak perseteruan kedua kembali muncul diberbagai ruang publik termasuk di media massa maupun diberbagai platform media sosial. Bermula dari mutasi pejabat eselon 2 dan 3 yang dilantik Bupati Subandi beberapa hari lalu. Tapi Wabup Mimik Idayana yang merasa tidak dilibatkan dalam keputusan tersebut hingga kemudian menuding proses pengisian jawaban di lingkungan pemerintah kabupaten Sidoarjo cacat hukum. Karena itu Wabup Sidoarjo melaporkan masalah ini ke Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Menanggapi konflik yang terjadi antara Bupati dan Wabup Sidoarjo tersebut, koordinator Gerakan Non Blok (GNB), Haryadi Siregar menyampaikan keresahannya dan meminta kedua pimpinan daerah tersebut segera mengakhiri dan fokus terhadap janji politiknya kepada masyarakat Sidoarjo.

“Sudah waktunya membangun Sidoarjo sesuai janji politik yang sudah terucap saat Pilkada lalu. Stop berkonflik, jangan sibuk cari pembenaran dan keras kepala. Bekerjalah dengan pedoman UU Nomor 23 Tahun 2014, tidak perlu ditafsir-tafsir lagi,” tegasnya.

Menurutnya, para kepala daerah seharusnya sudah memahami aturan tersebut sejak awal. Pemerintahan Sidoarjo ini bukan untuk kepentingan Elit tapi kerja nyata untuk kepentingan masyarakat Sidoarjo .

“Bukankah saat dilantik mereka ikut retreat di Magelang, hanya untuk membahas UU itu? Kalau masih penuh tafsiran, ya keterlaluan. Sidoarjo bukan tentang perasaan elit, tapi kerja nyata. Kalau sudah tidak sanggup, mundur saja,” tambah Direktur Parliament Watch Sidoarjo.

Salah satu tokoh budaya lokal, Luddy Eko juga ikut angkat bicara. Saat ditemui di salah satu warkop di Sidoarjo, Selasa (23/09/2025) siang tadi. Ludy Eko menilai konflik terbuka yang dipamerkan lewat media massa dan media sosial tersebut adalah cermin dari minimnya kedewasaan berpolitik.

“Potensi konflik itu pasti ada. Tapi harusnya diselesaikan secara internal, bukan diumbar ke ruang publik. Dalih apapun dari mereka hanya menimbulkan persepsi negatif di masyarakat,” ujar penulis novel sejarah bertajuk ’Mereka yang terhianati’ dan ’Puspa Kinasih’ itu.

Menurutnya, saat ini warga kota delta seakan terjebak dalam rasa kekecewaan. Wajar bila muncul kembali sindiran lama, “Sidoarjo Apes.”. Sebuah ungkapan ekspresi getir dari warga yang merasa salah memilih pemimpin dalam Pilkada lalu.

Hal serupa diungkapkan H Totok, tokoh masyarakat dari Sidoarjo Barat tersebut menilai bahwa perselisihan ini tak lepas dari adanya penyimpangan dari kesepakatan awal antara Bupati dan Wakil Bupati.

“Masyarakat dulu tahunya memilih satu paket. Kalau sekarang pecah kongsi, itu urusan mereka, bukan masyarakat. Kalau ada pelanggaran hukum, ya biar hukum yang menyelesaikan. Itu lebih adil,” ujarnya.

Bagi Totok, harapan terbesar warga Sidoarjo adalah terlaksananya janji janji Bupati dan Wakil Bupati Sidoarjo yang di sampaikan saat masa kampanye Pilkada tahun lalu, bukan disuguhi konflik yang kontra produktif dengan misi kesejahteraan masyarakat dan komitmen birokrasi yang bersih dari praktek korupsi . “Masyarakat menunggu janji-janji pembangunan yang dulu dikampanyekan, bukan pertengkaran,” tandasnya.

Sementara itu tokoh Ansor Sidoarjo, Slamet Budiono menyayangkan energi yang seharusnya dapat digunakan untuk melaksanakan janji politik Bupati dan Wakil Bupati justru terkuras oleh konflik internal diantara kedua pemimpin daerah itu.

“Ketika maju dulu, mereka sudah siap curahkan tenaga, pikiran, waktu dan biaya untuk rakyat. Sayangnya, sekarang justru masyarakat yang habis waktunya memikirkan ketidakharmonisan pemimpinnya,” keluhnya.

Slamet Budiono juga menegaskan apabila Wabup merasa dan punya bukti adanya pelanggaran hukum yang yang dilakukan oleh Bupati, lebih baik diselesaikan secara hukum. “Kalau Bu Mimik sudah tidak bisa mentoleransi Pak Subandi, dan Pak Subandi merasa paling benar, ya berperkara saja. Biar ini jadi pelajaran bagi pemimpin berikutnya,” pungkasnya.

Perseteruan antara Bupati dan Wakil Bupati Sidoarjo tentunya sangat merugikan masyarakat Sidoarjo. Selain itu konflik yang ditunjukkan kedua pemimpin tersebut dapat memberikan dampak negatif terhadap jalannya roda pemerintahan dan menjadi contoh buruk bagi penyelenggara pemerintahan yang ada dibawahnya. Mereka berdua lupa bahwa dibalik perseteruan tersebut masih banyak permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Banyaknya berbagai persoalan kasus korupsi di lingkungan pemerintah Desa dan menjerat puluhan Kepala Desa dan perangkat Desa di wilayah kabupaten Sidoarjo serta berbagai aduan masyarakat Desa terkait adanya dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan pemerintahan Desa juga harus menjadi perhatian khusus dari Bupati dan Wakil Bupati yang punya jargon komitmen antikorupsi. Selama tujuh bulan pemerintahan Subandi dan Mimik Idayana belum ada tanda langkah kongkret dan kebijakan terhadap pencegahan korupsi dan cenderung membiarkan keluhan masyarakat dari berbagai desa tentang adanya dugaan penyimpangan pengelolaan anggaran desa. (NK)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *