Uncategorized

Konsep Para Kreator Dalam Mengusung Lakon Sahoyi Keatas Panggung

77
×

Konsep Para Kreator Dalam Mengusung Lakon Sahoyi Keatas Panggung

Sebarkan artikel ini
Konsep Para Kreator Dalam Mengusung Lakon Sahoyi Keatas Panggung
Bimo Wiwohatmo, Art Director/ B'Djo Ludiro Dalang Wayang Mega/ dan Joni Asman Aktor

Yogyakarta/ suaraglobal.co.id ~ Dibalik kesuksesan para aktor dan aktris diatas panggung, ada sejumlah kreator yang merancang dan mengawal konsep pertunjukannya.

Diantara mereka ada kreator yang berkutat dibalik panggung pertunjukan, ada juga yang muncul diatas panggung sebagai aktor.
Beberapa yang lain berjaga menggawangi tugas dan tanggung jawabnya, agar pertunjukan berjalan lancar terjaga kualitasnya.

Siapa saja kerabat kerja pengawal pementasan Ketoprak – Wayang dan Tari (Kwari) yang mengangkat Lakon : “Sahoyi Mustika Pungging” yang di pentaskan 24 Juli 2025, di Amphiteater Purawisata ini ?

[wawancara serta ulasan pertunjukan ini akan dituliskan bersambung]

suaraglobal.co.id yang menyelinap ke belakang panggung menemui para kreator selagi semua crew dan pemain sibuk melakukan persiapan sebelum pertunjukan, merangkum hasil wawancara ini

Bimo Wiwohatmo, yang selama ini dikenal sebagai penari kondhang di Yogyakarta dan telah melanglang pentas ke manca negara, kali ini tidak terlibat sebagai penari. Tetapi evaluator yang menangani wilayah artistik secara keseluruhan dari kolaborasi Ketoprak – Wayang – Tari (Kwari) ini

Tentang Kolaborasi

“Jogja itu terdiri dari pelaku pelaku pertunjukan, tradisi maupun kontemporer.
Bisa leluasa untuk berkolaborasi.

Cuma masalahnya, dalam pementasan Kwari ini, dari konsep gagasan awalnya ada seni pertunjukan tradisi yang campur modern.
Sehingga kemudian memakai naskah.

Musik pun juga seperti itu. Musik tradisi dan musik modern. Kalau dalam pertunjukan ini, ya seperti Pak Pardiman Djayanegoro , Penata Iringan dan Mas Memet Chairul Slamet Penata ilustrasi dan efek.

Kemudian disana juga ada tari dan wayang.
Ini sangat menarik. Bagaimana sih, hasil perpaduan tradisi – modern kontemporer ?

Tentu dua – duanya akan selalu mundur. Tidak ngugemi kedisiplinannya masing – masing. Diharapkan ini akan menjadi kristalisasi perpaduan dari beberapa disiplin yang menjadi satu.

Itu yang mendasari kami untuk sadar diri, menjadi lebur.
Sebuah keleburan tentu tidak membawa ego masing – masing. Disitulah secara sosial berinteraksi lintas disiplin. Ini penting disadari.

Kesadaran seperti, kok, tumbuh dalam diri teman – teman. Jadi tidak ada pergeseran – pergeseran yang mendasar…seperti itu ”

Wawancara kami kadang terjeda untuk saling menyapa dengan para pemain dan kerabat kerja yang kebanyakan telah saling mengenal.

Di selasar kiri – kanan pintu menuju teater arena, beberapa pemain sedang make up, ada juga yang mematut – diri di depan cermin.
Beberapa pemain perempuan muda nampak sedang menyanggul rambutnya.
Ada yang saling membantu merapikan kostum yang dikenakan.

Tentang Tradisi Dan Kontemporer

“Perkembangan budaya ataupun setiap genre itu wajarlah jika tumbuh dan berkembang . Dan yang kami lakukan kalau struktur dasarnya itu, kita tidak juga mempertahankan dengan kaku ketradisian.
Budaya kita lahir di Tanah Jawa, di Indonesia. Meskipun bikin kontemporer semodern apapun …istilahe kalau dalam musik itu Avangard ya..?
Kebebasan seperti itu, pasti tidak akan mungkin meninggalkan ruhnya dimana kita berdiri.

Seperti dalam tari, tari klasik Jawa seperti bentuk yang kita kenal, disanapun tentu ada perkembangan. Kemudian ketika dilebur dengan era modernitas, seliar apapun modernitas itu, ruhnya pasti tetap ikut.

Seperti halnya kita pakai jas. Jas itu budaya Eropa. Sedang kita, kan, pakai Surjan pakai blangkon ya ?
Walaupun pakai jas, unggah – ungguh, sopan santun, etika itu tetap terjaga. Kalau lewat depan orang tua ya membungkuk, nyuwun sewu. Bukan petentang – petenteng melenggang sak karepe dewe.
Demikian juga ketika orang Eropa memakai batik misalnya, unggah – ungguhnya ya tetap orang Eropa. Kita tahu itu hanya visual saja ya ?

Kembali ke garapan, seperti Suhoyi, sejauh apapun tetap kelihatan ruh itu ada. Oo, ini Jawa. Walaupun Jawa sendiri berkembang. Jamane sudah Hindu, budha, Islam… Mengalami perubahan, kemajuan dan perkembangan

Demikian juga tari, misalnya. Yang saya tahu tari disiplinnya juga ada ya ?

Kebetulan di Jawa ya, Jawa Tengah ada sekolah – sekolah tari. Kemudian dalam basic seperti itu tentu klasik. Basic yang dikenalkan oleh pamong, guru.

Lalu dalam modernitas sekontemporer apapun, hal itu tidak bisa di pungkiri.
Tapi jika dilihat dari visualnya saja, memang kita sudah lepas. Kadang orang nggak berfikir tentang kedalaman si pelaku ini dari mana ? Apakah itu kontemporer Jepang, Cina, Eropa, Amerika …Indonesia..?

Indonesia terbelah lagi, misalnya kontemporer Minang, Bali, Sunda, Jawa… Itu sudah bisa terwakili. Misalnya kayak di Sumatera, Boy G Sakti… dia sudah bebas…tapi ruhnya tetap Minang.

Ruh kedalaman diri pada garapan yang kontemporer..”

Penguasaan Bimo Wiwohatmo tentang tari kontemporer begitu lekat pada karya – karyanya.

Tentang Tata Artistik

Pada pertunjukan “Sahoyi” ini, Bimo Wiwohatmo tidak sebagai penari. Ia merambah pada wilayah yang lebih luas. Menangani visual artistik secara global.
Dia bertindak sebagai Evaluator, mengevaluasi dan mengarahkan mengenai artistik seni pertunjukan.
Bukan Penata Sett/ Sett Dekorasi Panggung. Namun tata artistik keseluruhan.
Dimana Penata Artistik harus melihat lebih jeli perihal visual yang kurang tercermati. Wilayah itu mencakup : Audio (sound), Lighting (lampu), bentuk – model – warna tata busana, properti..hingga komposisi penempatan pemain di panggung.

“Bagaimana, sih …mengenai blocking ? Kalaupun ada gerakan – gerakan yang kurang terkoreografikan, kurang teratur…Nah disini saya baru membenahi…”

Penjelasan Bimo Wiwohatmo ini semakin jelas dalam memberikan gambaran tentang sebuah profesi.
suaraglobal.co.id mencoba mengorek lebih jauh lagi, dan terjadilah dialog ini :

~ : “Dalam pertunjukan wilayah garapnya lebih ke Tata Artistik ya ?. Art Directing, bagaimana mencerna dan menafsirkan naskah, merencanakan tata rupa panggung, dan meskipun sudah ada Sutradaranya, tetap harus menginterpretasikan, merencanakan dengan taste yang harus dikawal, dan itu mencerminkan cita rasa keindahan dari seluruh pengadeganan, kan ?

Mendirect ranah itu. Tetapi tidak bikin adegan. Karena pengadeganan kewenangan Sutradara. Tapi memframing ,membingkai dengan tata artistik, taste, juga pertanggung jawaban akan kajian sejarah yang menjadi setting lakon”

~ : “Ya, yaa…Benar begitu.” sahutnya sembari menyalakan (lagi) rokoknya untuk yang kesekian.

~ :”Ini kan wilayah yang kebanyakan orang belum tahu. Selama ini Mas Bimo kondhang sebagai.penari. Sedangkan tugas dan tanggung jawab yang Mas Bimo tangani dalam pertunjukan Sahoyi ini adalah profesi lain, yang membutuhkankeahlian tertentu , yang tidak semua penari mampu memegang tugas itu ”

~ : ” Ya, tepatnya begitu. Dan ketika ada kayak “mata” yang mencermati, mengkritisi, tentu sebuah pertunjukan itu sendiri akan menjadi kristal, satu – kesatuan dari kolaborasi itu..”

Dialog kami belum selesai.
Tapi kiranya perlu menampilkan hasil wawancara dengan Isti, Sang Koreografer terlebih dahulu sebelum menuliskan menampilkan Kreator lain :

~ : “Saya selaku Penata Tari selalu berkonsultasi pada Sutradara, Pak Nano Asmorodono; beliau pinginnya seperti apa, nanti kita koordinasikan.

Pada saya beliau menyampaikan, nanti dalam adegan ada tayuban.

Gerakan yang saya terapkan dalam tayuban ini tidak terfokus pada tayuban Jawa Timuran, Jawa Tengah atau Jawa Barat. Kita bikin kontemporer. Kan ceritanya…pengembangannya juga lumayan jauh.
Ngaten nggih ? (begitu, ya ? red)

Selain tayuban ada adegan murid – murid di padepokan berlatih silat.
Jadi ini tidak pyur adegan tarian, tapi saya juga mengkoreo adegan silat. Walaupun gerakannya juga tidak pyur gerakan silat seperti olah raga pencak silat. Tapi kita stylir, kita permanis gerakan tari…”

~ : ” Tadi sewaktu sewaktu mewawancarai Penata Iringan, Mas Pardiman Djoyonegoro, beliau menggarap iringan tayub juga tidak seperti tayub pada umumnya. Tetapi ada nuansa kedaerahan, Banyumasan.
Mengenai pola garapan garapan tari tayub dan iringan ini bagaimana Mbak ?”

~ : “Saya memang tidak memfokuskan harus seperti apa tayuban itu. Terus saya matur ke Pak Pardiman ; ‘Pak ini kan tayubannya agak modern, jadi kan tidak harus tayuban gaya daerah tertentu’

Awalnya saya pernah minta musiknya berbusa Jawa Timuran. Walaupun gerakannya tidak murni. Nah ketika tariannya jadi, dan bertemu Pak Pardiman, iringan tayubnya juga sudah jadi. Beliau menyiapkan bernuansa Banyumasan. Ya sudah.
Jadi ketika di kombinasi dengan unsur musik garapan Pak Pardiman ya masuk.Relatif aman.”

~ : “Sejauh mana seorang koreografer mencari dan menggali referensi terkait latar belakang lakon Sahoyi ini pada kisaran jaman Amangkurat ?”

~ : “Terus terang saya tidak menggali terlalu dalem. Saya sudah konsultasikan pada Sutradara dan beliau oke.
Karena baik cerita dan penokohan sudah di samarkan. Tidak sama dengan kisah sejarah…”

~ : “Artinya lakon ini adalah fiksi dengan latar belakang sejarah, begitu kah ?”

~ : “Intinya bingkainya ini adalah adegan tayuban yang menggambarkan bahwa disitu ada kesenian rakyat. Dan menggambarkan ketika masyarakat bersenang – senang mereka ungkapkan , mereka luapkan dengan tayuban.

~ : “Kalau tentang konsep, idealisme dan target pencapaiannya gimana Mbak ?
Adakah kendala yang berarti pada proses persiapan, apakah waktu latihan jumlah pertemuan latihannya kurang, apa para pemainnya tidak semua penari ? ”

~ : “Sejak awal saya sudah minta pada Sutradara semua pemainnya penari. Karena saya ingin menonjolkan sisi ; walaupun ini rakyat tetapi ini adegan yang pantas dinilai.
Tidak semuanya harus real live, karena tayuban jaman dulu terus gerakannya juga harus tayuban jaman dulu juga.

Tidak ada kesulitan karena mereka penari. Artinya gerakan yang saya berikan dua tiga kali latihan sudah oke. Sesuai interpretasi saya. Apa yang saya inginkan sudah terpenuhi. Menurut saya secara koreografi ini sudah tercapai ” pungkasnya.

Bagaimana dengan konsep bunyi baik iringan musik tradisi ataupun modern ?

Pada tulisan berikutnya suaraglobal.co.id akan merangkumkan hasil wawancaranya dengan Pardiman Djoyonegoro dan Dr. Memet Chairul Slamet ?

Kedua tokoh itu mengungkapkan konsep dan daya dukungnya untuk kekaryaan kolaborasi Ketoprak – Wayang & Tari berjudul : Sahoyi Mustika Pungging” ini.

Sahoyi#1

Tulisan Tito Pangesthi Adji.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *