Yogyakarta // suaraglobal.co.id – Diera digital ini sarana komunikasi berupa android yang memiliki banyak fitur dan dilengkapi berbagai aplikasi termasuk perekam gambar dan suara (visual audio) bukan lagi menjadi barang mewah, tetapi sudah menjadi kebutuhan sehari – hari semua lapisan masyarakat.
Penggunaannya sesuai kebutuhan dan kemampuan teknis si pemilik dalam mengoperasikannya. Ada yang sekedar untuk telepon, videocall, mengirim dan menerima pesan atau foto selfie saja. Ada juga yang memanfaatkannya untuk membuat konten, mengunggah foto atau video ke media sosial. Bahkan bisa melakukan live streaming secara real time bersamaan dengan berlangsungnya sebuah peristiwa.
Hasil rekaman video (audio visual) bisa di tayangkan secara langsung tanpa melewati badan sensor yang berwenang menyortir apakah foto/ videonya layak tayang atau tidak. Siapa pun bisa membuat konten dan mengunggah ke media sosial melalui akun pribadi.
Kemajuan jaman dan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, menghadirkan fenomena baru, semua orang bisa menjadi ‘wartawan’ di chanelnya sendiri tanpa media resmi yang menaunginya.
Media online dalam berbagai platform seperti : Twiter, Instagram, Tik Tok, Facebook, memberi peluang lebar bagi masyarakat luas untuk membuat konten dalam berbagai varian informasi.
Penggunaan teknologi komunikasi dan informasi yang tepat, bisa memberikan manfaat bagi pembuat konten maupun bagi masyarakat.
Akan tetapi banyak juga yang mempergunakannya untuk kepentingan tertentu yang bisa membahayakan masyarakat. Contohnya konten yang dibuat oleh orang – orang yang tak bertanggung jawab yang dengan sengaja melakukan rekayasa foto/ video yang kemudian diberi narasi dengan informasi yang menyesatkan. Konten yang memprovokasi masyarakat dengan tujuan tertentu yang tersembunyi dibalik visual dan bahasa yang menarik perhatian publik.
Imbasnya, masyarakat menjadi bingung, tidak tahu lagi, mana sumber berita yang terpercaya dan mana ‘berita palsu’ yang hoak ?
Tidak mudah membedakannya.
***
Ada ungkapan menarik yang hingga kini masih relevan dibahas dalam konteks teknologi komunikasi dan informasi :
“Sebuah foto melebihi seribu kata – kata”.
Ungkapan itu merupakan terjemahan dari frase “A picture is worth a thousand words”.
Frase ini digunakan untuk menggambarkan kekuatan gambar dalam menyampaikan pesan atau cerita yang lebih efektif daripada kata-kata.
Jika kita telusuri jejak digital sepanjang bulan Agustus 2025 – pekan pertama September ini, sosial media dibanjiri foto (visual) maupun video (audio visual) hasil liputan peristiwa demo massal yang berujung kerusuhan di berbagai kota di Indonesia.
Foto/ video yang tersebar di sosial media melalui berbagai platform, memiliki pengaruh yang besar terhadap perhatian dunia.
Unggahan foto / video dapat memperlihatkan secara langsung situasi yang terjadi di lapangan, sehingga bisa mempengaruhi opini publik dan meningkatkan kesadaran global tentang isu-isu yang dihadapi.
Dukungan Media Sosial, melalui platform seperti : Tik Tok, Twitter, Instagram, dan Facebook memungkinkan foto/ video dibagikan secara luas dan cepat, meningkatkan visibilitas dan potensi untuk memicu respons global.
Foto/ video memiliki kemampuan untuk membangkitkan emosi lebih kuat dibandingkan dengan teks, sehingga mempengaruhi bagaimana orang memandang dan merespons suatu isu.
Dalam konteks demonstrasi massa di Indonesia, penyebaran foto/ video tentang demonstrasi bergelombang yang terjadi berturut – turut di berbagai kota yang berujung tindak anarkis dan kerusuhan dapat berdampak :
~Meningkatkan Kesadaran Internasional. Membuat dunia internasional lebih aware tentang situasi yang terjadi di Indonesia.
~Tekanan pada Pemerintah, dapat memicu tekanan internasional pada pemerintah untuk mengambil tindakan atau memperbaiki situasi.
~Solidaritas Global,
dapat membangun solidaritas global dengan gerakan atau isu yang sama.
Sebegitu kuatnya pengaruh foto/ video yang di posting di media sosial, apalagi jika disertai narasi yang membangkitkan emosi dalam menyampaikan informasi pada publik.
Oleh karenanya, berbagai pihak terkait demonstrasi di Indonesia, mempergunakan kekuatan foto/ video disertai narasi tertentu untuk menunjukkan posisi keberadaannya dalam memandang suatu masalah yang mengakibatkan terjadinya demonstrasi besar – besaran dan mengakibatkan pembakaran gedung – gedung, pengrusakan fasilitas publik serta mengakibatkan banyak jatuh korban baik yang luka – luka maupun yang meninggal dunia.
Kita bisa menelusuri jejak digital dan mendapatkan banyak temuan, yang menunjukkan adanya semacam perang narasi, saling menyerang, opini, argumen – argumen, polemik, hingga statement para pejabat yang melukai hati masyarakat dan menimbulkan gejolak kemarahan rakyat.
Sebagian besar foto/video yang membanjiri sosial media bukan dibuat oleh orang menguasai fotografi/ sinematografi untuk menghasilkan foto/video dengan kualitas yang baik.
Kebanyak video amatir, bukan dibuat oleh orang videographer profesional.
Mereka merekam sebuah kejadian yang ada didepan mata seperti apa adanya, dengan handphone yang dimilikinya. Merekam apa saja yang terjadi disekitarnya, lalu
hasil rekamannya langsung diposting dengan caption dan narasi sesuka hati. Yang penting menarik perhatian dan mendapatkan viewer sebanyak – banyaknya agar memberikan like, komen serta membagikannya.
Sepertinya semua orang bisa menjadi Juru Warta tanpa media resmi yang menugaskannya. Tak harus mengerti tentang jurnalistik, tak perduli melanggar etika, yang penting cuan dari hasil kontennya.
Namun demikian, banyak juga masyarakat atau netizen yang bukan seorang photo jurnalis berhasil merekam moment – moment penting untuk sebuah berita, dikarenakan berada disekitar terjadinya sebuah peristiwa yang diliputnya. Hasilnya bisa tak terduga dan menjadi sangat berharga. bahkan bisa menjadi sebuah dokumen penting yang diperlukan oleh banyak pihak yang berkepentingan mengusut sebab – akibat terjadinya suatu peristiwa, karena foto/ video itu berhasil mengabadikan sebuah fakta.
Dalam jurnalistik, hasil foto seperti itu disebut foto Hard News
[Bersambung]
(TPA Biro Kulon Progo)