Opini

Pemerintah Daerah Harus Memberikan Informasi Yang Utuh Ke Publik Untuk Mencegah Kesalahpahaman

32
×

Pemerintah Daerah Harus Memberikan Informasi Yang Utuh Ke Publik Untuk Mencegah Kesalahpahaman

Sebarkan artikel ini
Dr Jamil SH MH, Ahli Hukum Administrasi Negara universitas Bhayangkara Surabaya. " Pentingnya jalinan komunikasi yang baik antara pemerintah daerah dengan masyarakat (publik)."

Sidoarjo//suaraglobal.co.id – Berbagai narasi, asumsi dan opini yang berkembang dimasyarakat terkait sikap politik dari legislatif dan eksekutif dalam pengambilan kebijakan publik dirasa telah menciptakan suasana yang penuh ketidakpastian dalam rangka melaksanakan pembangunan dan program strategis pemerintah daerah Sidoarjo.

Munculnya berbagai kelompok elemen masyarakat yang meminta agar pihak pihak yang mempunyai kewenangan dalam memutuskan kebijakan dapat memberikan kepastian terhadap kelancaran program pemerintah daerah yang berpihak terhadap kebutuhan masyarakat Sidoarjo secara umum menjadi bukti ketidakmampuan dari pemerintahan daerah Sidoarjo untuk membangun komunikasi dengan publik serta ketidakmampuan Pemda memberikan informasi yang utuh kepada masyarakat terkait langkah dan kebijakan pemerintah daerah. Salah satu contoh terkait perbedaan persepsi antara eksekutif dan legislatif terkait dapat atau tidaknya pengesahan Raperda P-APBD tahun ini.

Kegamangan pemerintah daerah tentang proses pembahasan Raperda P-APBD tahun ini yang dikarenakan tidak disetujuinya Raperda LPP APBD tahun 2024. Pernyataan asisten bidang administrasi pemerintahan dan kesra, bahwa pembahasan Raperda P-APBD akan sia sia karena tidak ditetapkannya LPP APBD tahun 2024 oleh DPRD merupakan pernyataan yang terkesan terburu buru.

Meskipun yang bersangkutan berdalih telah berkonsultasi dengan sekda pemerintah daerah provinsi Jawa Timur dan mengutip Permendagri no 77 tahun 2020 bab IV huruf J.

Menanggapi situasi ini, Ahli Hukum Tatanegara Universitas Bhayangkara Surabaya, Dr Jamil SH MH menyampaikan bahwa tidak disepakatinya LPP APBD oleh DPRD tidak serta merta menutup proses pembahasan/pengesahan Raperda P-APBD. Sebab apabila Raperda LPP APBD tahun sebelumnya tidak disepakati oleh DPRD, Bupati dapat menggantikan dengan Perkada (Peraturan Kepala Daerah) tentang LPP APBD.

“Meskipun Raperda LPP APBD tidak disepakati oleh DPRD, Bupati bisa menetapkan PerKada LPP APBD. Mekanismenya sudah diatur dalam pasal 197 peraturan pemerintah no 12 tahun 2019. Secara hierarkis kedudukan perkada memang dibawah perda tetapi untuk menghindari kemandegan (shut down ) pemerintahan daerah, maka PP memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk berkoordinasi secara struktural (Gubernur) untuk menjadikan perkada sebagai alas hukum atas LPP APBD,” Jelas Dr Jamil.

Ahli Hukum Administrasi negara tersebut juga menyampaikan bahwa proses pembahasan Raperda P-APBD terus bisa jalan. Dia juga menegaskan bahwa, dalam hukum, ada asas presumtio iustae causa yang bermakna bahwa tindakan penguasa dianggap sah selama belum dibatalkan. Dalam perkembangannya asas ini berlaku pula dalam bidang perundang-undangan.

“Asas presumtio iustai causa yang menjadi dasar keabsahan formal yaitu aspek wewenang dan prosedur, maka sejak suatu peraturan perundang-undangan diundangkan maka perundangan tersebut harus dianggap sah sebelum ada pembatalan terhadap perundangan tersebut,” tambahnya.

” Dan proses yang sudah berjalan di DPRD maupun yang sudah dilakukan Pemda Sidoarjo yang telah menyampaikan rancangan Perkada kepada Gubernur sudah tepat. Dan kita tunggu hasilnya.” Lanjutnya.

Dr Jamil SH MH juga menegaskan bahwa penerapan asas presumtio iustae causa juga memerlukan partisipasi publik yang kuat dalam proses legislasi. Menurutnya partisipasi publik adalah elemen penting untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

“Penguatan mekanisme legislasi melalui partisipasi publik yang inklusif, pengawasan konstitusional yang efektif, serta evaluasi implementasi hukum yang melibatkan masyarakat. Dengan pendekatan integratif, asas presumptio iustae causa dapat menjadi landasan untuk memastikan peraturan perundang-undangan tidak hanya sah secara formal, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai keadilan dan aspirasi masyarakat. Implementasi yang seimbang antara keabsahan formal dan substansial diharapkan dapat memperkuat legitimasi hukum serta menciptakan keadilan yang berkelanjutan dalam sistem hukum Indonesia.”. (NK)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *