Sidoarjo//suaraglobal.co.id – Memanasnya suhu perpolitikan di Kota Delta Sidoarjo kembali mencuat. Setelah isu pemhamburan-hamburan anggaran oleh DPRD yang membuat hubungan Parlemen Daerah (DPRD red) dengan ekskutif (Bupati red) merenggang, kini muncul lagi kasus yang semakin menunjukkan adanya hubungan disharmoni antara Legislatif (DPRD kabupaten Sidoarjo red) dengan eksekutif (Kepala Daerah red).
Rabu 16 Juli 2025 dalam sidang paripurna DPRD dengan agenda pendapat akhir fraksi terhadap Raperda LPJ APBD tahun 2024 di gedung DPRD. Rapat itu terasa panas bukan karena tidak ada air conditioner (AC) tetapi karena ketegangan dan perbedaan pendapat antar berbagai fraksi. Ada fraksi yang menerima Raperda yang berisi Laporang Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj), ada yang menerima dengan catatan ada pula yang menolak, namun kalau divoting lebih banyak yang menolak sehingga Raperda tersebut tidak dapat disahkan sebagai Peraturan Daerah (PERDA).
Ahli hukum tatanegara universitas Bhayangkara Surabaya, Dr Jamil SH MH menyatakan adanya implikasi hukum maupun politik atas penolakan tersebut.
” Secara sederhana LKPj merupakan laporan kinerja yang telah dilakukan oleh pemerintahan daerah selama satu tahun anggaran. Laporan ini memuat hasil penyelenggaran urusan pemerintah dan wajib dilaporkan kepada DPRD melalui sidang paripurna. LKPj akan diformalkan menjadi Peraturan Daerah manakala proses pembuatannya sudah terpenuhi semua, namun bila Raperda yang berisi LKPj tersebut ditolak dalam pembicaraan tingkat 2 atau tingkat pengesahan. Maka Reperda tersebut tidak dapat dibahas kembali dalam masa sidang tersebut, Raperda tersebut hanya dapat dibahas kembali dalam masa sidang berikutnya.” Terang dosen ilmu hukum administrasi negara Ubhara Surabaya tersebut.
LKPj merupakan dokumen wajib yang harus dibuat oleh Pemerintah Daerah. Begitu pentingnya LKPj, diatur secara khusus dengan tiga produk hukum pemerintah pusat yaitu di UU No. 23 Tahun 2014, PP No. 13 Tahun 2019 dan Permendagri Nomor 18 Tahun 2020, Bahkan bagi pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban memberikan LKPj diberikan kewenangan kepada DPRD sesuai dengan tingkatannya untuk menggunakan hak interplasinya (Pasal 73 (3) UU 23/2014). Untuk itu menurut Dr Jamil SH MH, penolakan pertanggungjawaban Bupati Sidoarjo oleh DPRD ini tidak dapat dianggap remeh.
“Penolakan LKPj ini tidak bisa dianggap enteng (ringan red). Secara politik dia bisa menjadi bola liar yang akan terus menggelinding dan bukan tidak mungkin bergerak ke arah penggunaan hak-hak DPRD seperti hak interplasi, hak angket hingga hak menyatakan pendapat” tambahnya.
Ada hal hal sangat krusial dan sensitif dari berbagai catatan dari fraksi fraksi DPRD kabupaten Sidoarjo baik yang menerima maupun fraksi yang menolak pertanggungjawaban Bupati Sidoarjo atas pelaksanaan APBD tahun 2024. Mulai dari tata kelola pelaksanaan APBD yang tidak profesional, tidak Transparansinya proses pengadaan barang dan jasa di setiap OPD, rendahnya kwalitas infrastruktur yang menjadikan bangunan infrastruktur tidak bertahan lama, perbaikan jalan yang terkesan tambal sulam dan kurang matangnya perencanaan sehingga setiap pekerjaan tidak mengedepankan asas efektif dan efisien dan adanya catatan terkait pelaksanaan SPMB SMPN yang dilaksanakan tidak transparan dan berpotensi adanya dugaan KKN.
Agar semua catatan dari berbagai fraksi di DPRD kabupaten Sidoarjo tidak menjadi sekedar catatan dan hilang seperti tersapu angin begitu saja tanpa ada perbaikan, maka publik berharap agar DPRD kabupaten Sidoarjo konsisten mengawasi kinerja pemerintah daerah dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan. Dan bila diperlukan DPRD kabupaten Sidoarjo bisa mengambil hak konstitusionalnya untuk melakukan penyelidikan terkait kebenaran semua catatan negatif terhadap kinerja pemerintah daerah. ( NK)