Yogyakarta/suarglobal.co.id – Menandai peringatan Hari Ulang Tahunnya yang pertama, Srawung Paseduluran Anggara Kasih menggelar acara : “Tukar Kawruh”, di Gubug Budaya, Nalagaten, Caturtunggal, Yogyakarta.
Komunitas penggiat budaya dari berbagai cabang seni dan masyarakat perduli budaya ini, selalu menyelenggarakan pertemuan rutin Selapanan atau 35 hari sekali, setiap hari Senin Wage Malam Selasa Kliwon.
Pada setiap pertemuan menampilkan seorang Narasumber atau Pemantik diskusi sebagai pemateri, kemudian berlanjut dengan tanggapan dan diskusi.
Narasumber dan tempat pertemuannya, tidak selalu sama. Pemantik diskusinya berganti – ganti, tempatnya pun berpindah – pindah tergantung siapa yang mengunduh (ketempatan) pertemuan rutin ini.
Tukar Kawruh kali ini mengangkat tema : “Nyirih Bareng”. Sebuah kajian bersama tentang tradisi menyirih.
Bertindak sebagai Pemantiknya adalah : Eko Hand, Ketua Umum Taman Sesaji Nusantara.
~”Ini moment luar biasa, Ulang Tahun Anggara Kasih ini kok ya pas malam Selasa Kliwon, dan mengangkat tema Nyirih Bareng.
Nyirih itu ternyata dulu sebuah perjamuan kehormatan pada sebuah pesta. Tentunya filosofinya juga ada.
Nanti biar dibabar oleh Mas Eko Hand.
Disini kita semua sudah membawa pustaka masing – masing,
Belajar mendengar, tidak mendebat.
Boleh menanggapi dan berbeda pendapat “, sambutan moderator, Ki Gde Mahesa.
Narasumber menyampaikan paparan singkatnya :
~”Kita disini sudah membawa banyak hal. Masing – masing punya ‘Adeg – Adeg’ dhewe. Ada pimpinan Padepokan, ada ketua Paguyuban, ada Pendiri dan Pembina Yayasan, ada para pelaku spiritual…para seniman…, lengkap.
Jadi disini tidak ada yang tua, tidak ada yang muda, tidak ada guru tidak ada siswa…tidak ada yang lebih faham akan materi yang kita diskusikan nanti. Semua belajar mengkaji sama – sama..”
Sebelum masuk pada sesi materi bahasan, karena pertemuan ini bertepatan juga dengan ultah Anggara Kasih , Eko Hand menceritakan riwayat terbentuknya komunitas ini.
Karena anggotanya selalu bertambah dan tidak semua tahu mengenai awal mula terbentuknya komunitas Anggara Kasih.
~”Pada awal terbentuknya Anggara Kasih ini, saya waktu itu di dhawuhi oleh Romo Tito untuk mewakili beliau, dan kami semua berkumpul di ndalemnya Romo Gde Mahesa, di Gunung Sempu.
Setiba disana pun, saya ini juga nggak ngerti : ini mau ngapain …?
Ada Ki Saung Rahsa, Ketua Umum Forum Komunikasi Keluarga Paranormal Dan Penyembuh Alternatif Indonesia (FKPPAI), ada Mbak Arum (praktisi penyembuh alternatif), ada Mbah Cemo Pimpinan STAK (Satuan Anti Kriminal) DIY.
Dalam pertemuan itu ya ngobrol begitu aja…
Saya ingat betul, waktu itu Bulan Juli, tanggal 2, tahun 2024.
Bulan berikutnya bergulir secara rutine setiap 35 hari sekali, malam Anggara Kasih, mengadakan pertemuan.
Dan kali adalah yang ke 13.
Prestasi yang pertama adalah bulan Agustus 2024, padahal kita cuma punya waktu 2 Minggu untuk persiapan. Kita berhasil menggelar event yang megah dan sakral di Candi Kedulan. Itu luar biasa. Kita semua terlibat. Ada Romo Tito, ada Ki Saung Rahsa, ada Romo Gde Mahesa, Nyai Dewi Dersanala, Mbakyu Tete, Romo Bambang Nursinggih dan lainnya.
Yang kerja keras Romo Gde Mahesa, Pak Dukuh Wisnu dan Mbah Cemo.
Ada suport juga dari Maestro musik Dr. Memet Chairul Slamet.
Itu jadi luar biasa.
Anggara Kasih keren…
Tanggal 2 Juli 2024, kalau menurut sengkalan Jawa, itu artinya : “Lungguh”
Karena 2 + 7 = 9, 9 + 6 = 15.
Lungguh – Hurib.
Yang saya ingat, waktu itu jam 03;00 subuh saya di WA Romo Pangesthi Adji suruh merapat ke Gunung Sempu, dan sampai sekarang ini seduluran disini…”
Acara seremonial berlanjut. Bunda Yani Saptohoedoyo sesepuh keluarga Anggara Kasih menyampaikan :
~”Dengan rasa welas asih kita bisa berkumpul disini, untuk bertemu setiap Malem Selasa Kliwon dan berbagi pengetahuan, berbagi ilmu serta mempererat tali Paseduluran Anggara Kasih, yang penuh welas asih.
Saya disini banyak menimba ilmu.
Ternyata disini isinya orang – orang istimewa yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan sendiri – sendiri. Romo Tito, Mas Eko…nek disebut siji – siji ora cukup wektune.. Pokoknya semua istimewa. Bersedia saling berbagi dan menimba ilmu. Setiap bertemu kita selalu mendapat ilmu baru. Semoga ini bisa terus berlanjut dan memberi kemanfaatan bagi kita semua.
Tetap harus saling rukun. Rukun Agawe Santoso. Kita tetap dalam satu persaudaraan, yaitu Anggara Kasih, saling mengasihi satu sama lain.
Disini tak ada yang lebih tinggi. Semuanya istimewa. Setiap kali kita pulang kerumah, itu membawa pengetahuan dan membawa kasih , gitu.
Mudah – mudahan persaudaraan kita abadi…”
Sesi selanjutnya adalah prosesi pencampuran Tirta Suci dari 7 mata air, yang akan dipergunakan sebagai salah satu sarana uba rambe acara “Kidung Umbul Puja Mantra”#2 bulan Agustus mendatang.
Prosesi itu di lakukan oleh
Tito, Eko Hand, Kus Margono, dan Rika Sitepu. Pembacaan mantra tertentu.
Setelah itu baru Membelah Tumpeng.
Bunda Yani Saptohoedoyo benar – benar menjalankan perannya sebagai “Ibu” bagi semua anggota keluarga Anggara Kasih. Melayani putra – putrinya makan, membagi – bagikan tumpeng itu secara merata, diberikan langsung satu – persatu. Tak ada perlakuan yang berbeda, baik terhadap yang tua ataupun muda. Sebuah cerminan pancaran rasa welas asihnya.
Kembul Bujana atau makan bersama ini menjadi suasana yang hangat dan akrab.
Setelah itu barulah sesi “Tukar Kawruh” di mulai.
Ringkasan paparan Eko Hand :
~”Sejarah, pernah ditemukan bercak merah di gigi manusia purba, di Wajad, Tulung Agung. Dan setelah lab forensik ternyata itu adalah bercak merah dari sisa – sisa aktifitas nyirih.
Nyirih ini terjadi di seluruh Asia Tenggara. Tapi kalau ‘Nginang’, itu Tempatan. Nginang itu hanya penyebutan di Jogja atau di Jawa Tengah.
Seorang profesor dari Inggris menulis bahwa, Indonesia itu laboratorium peradaban dunia.
Aktifitas nyirih ini sudah terjadi sejak jaman manusia purba. Artinya itu ribuan tahun yang lalu. Sampai hari ini masih ada, masih terjaga eksistensinya
Kalau yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri, dari Pangkalan Brandan sampai ujung Papua itu ada aktifitas nyirih.
Aceh juga iya, terus di India sampai Kaledonia disana juga ada aktifitas nyirih.
Teman – teman juga sampai Thailand, Singapur, Wamena, Papua Nugini…
Secara histori seperti itu.
Sampai sekarang kita masih bisa menikmati aktifitas nyirih itu. Dan pada era kejayaan nyirih ini, pernah terjadi trend kasta sosial dengan banyak sekali peralatan untuk nyirih. Mulai dari perabot logam kuningan, perak, kristal, keramik, ada juga emas. Itu menjadi taste kasta. Itu luar biasa dimasa lalu, bahkan sampai hari ini di daerah Sumatera, di Palembang, Jambi…disana itu indah banget aktifitas nyirihnya.
Ini semacam simbol sosial :
“Kalau kamu belum mau menerima sirih atau mengunyah sirih, itu kamu belum berkawan ”
Ini peristiwa sosial.
Saya curiga aktifitas nyirih dengan berbagai kombinasi atau kreatifitas tempatan, kalau di Sumatera itu di tambahi pinang. Kalau di Jogja dan Jateng, kan, Gambir ?
Injet, kapur…pakai pinang juga iya.
Kalau di NTT sampai Maluku sana, pinang sama buah sirihnya.
Di Bali aktifitas nyirih juga luar biasa.
Di Kalimantan, di Sulawesi, pinang tetap ada, melekat.
Dengan melihat aktifitas nyirih ada dimana – mana, saya curiga : dulunya kita itu adalah satu. Kenapa hanya ada di garis ini saja? Diluar itu nggak ada.
Konon katanya, dari India. Suku Jawa yang tinggal di Kaledonia juga nyirih. Suku asli Kaledonia juga nyirih. Mungkin dulunya satu akar. Itu sekilas tentang sejarah nyirih yang saya pahami, bahwa mengunyah sirih itu sudah sangat lama. Sejak jaman manusia purba yang ditemukan di Tulung Agung , yang hari ini data sejarah dunia, itu adalah manusia purba tertua di dunia.
Filosofi Nyirih
Di Jogja dan Jawa Tengah, sirih disebut : ‘suruh’. Memiliki filosofi ‘sesuruh’. Di masa lalu ‘sesuruh’ itu suatu peristiwa pengijasahan.
Kalau sekarang wisuda. Setelah Sesuruh itu disuruh nyirih atau nginang, itu dikatakan : sesuruh. Artinya : dhawuh, atau perintah, atau amanah. Seperti halnya tadi perintah berupa pencerahan. Setelah menerima itu, ia tahu apa yang harus dilakukan.
Tanpa perintah tahu apa yang harus di lakukan, misalnya mengabdi pada masyarakat …”
Tentang pemanfaatan mistis atau tuah daun sirih, testimoni dari para peserta Tukar Kawruh Paseduluran Anggara Kasih, akan dituliskan pada bagian berikutnya.
Penulis Tito Pangesthi Adji