Budaya

Teater Braille Akan Gelar Pementasan Dengan Judul RUANG TUNGGU 

201
×

Teater Braille Akan Gelar Pementasan Dengan Judul RUANG TUNGGU 

Sebarkan artikel ini

Yogyakarta/suaraglobal.co.id – 

Teater Braille akan menggelar pementasan dengan judul : “Ruang Tunggu”, pada Jumat, 26 September 2025, pukul 19.30, di Sakatoya Collective Space, Sewon, Bantul, Yogyakarta.

Naskah ditulis Muhammad Raihan, alumni ISI Jurusan Teater ISI Yogyakarta.
Dimainkan oleh para aktor yang semuanya penyandang difabel netra :
• Zukhrufafu
• Akbar AP
• Barokah
• Yuda Wirajaya yang merangkap bertindak sebagai Sutradara.

Melalui chatt WA dan juga voice note, Yuda Wirajaya mengirimkan foto – foto dan video proses latihan pada suaraglobal.co.id, dan juga gagasan yang ingin dicapainya melalui pementasan itu :

~ “Pertunjukan ini ingin mewacanakan soal keterasingan dan kesendirian dalam sebuah ruang tunggu, berbicara tentang masyarakat yang sering kali terpinggirkan dan tidak mendapat ruang.
Apakah itu penyandang disabilitas, orang asing, atau minoritas, albino, bahkan orang yang menderita penyakit HIV AIDS… biarlah penonton yang menapsirkan.
Pertunjukan ini juga ingin mengajak penonton sejenak masuk dalam dunia netra yang gelap, akan ada masanya panggung digelapkan secara total, namun adegan tetap berlangsung, informasi adegan yang berlangsung akan dikuatkan melalui sound dan narasi, agar penonton tidak kehilangan informasi.

Penonton akan dibawa dalam dunia netra sejak berada didepan gedung pertunjukan, saat masuk kedalam ruangan yang gelap, mereka akan dituntun oleh teman-teman netra menuju tempat duduk. Kalau
biasanya kita yang dituntun, ini dibalik”, papar Yuda menjelaskan konsepnya.

~ “Mengapa akhirnya kami memilih untuk membawa penonton masuk sejenak kedalam dunia netra ? Itu sebenarnya untuk memantik keperdulian antar sesama manusia, juga memancing rasa empati, begitu.
Karena mereka tidak mulai peka dan mengerti tentang aksesibelitas ketika mereka belum merasakan menjadi disabilitas itu sendiri.
Karena ketika mereka sudah mengalami berada dalam kegelapan, tidak bisa melihat, harus dituntun orang lain, nah…dari situ akan muncul perasaan : ‘wah, saya harus membantu’, karena ternyata ketika kita ada dalam kondisi yang seperti itu justru tidak enak ; ada ketakutan, ada was – was, takut menabrak dan sebagainya.

Sehingga ketika, mungkin mereka berinteraksi dengan disabilitas setelah selesai pertunjukan, maka pandangannya menjadi berbeda.
Itu sebenarnya capaian kita disana.

Kemudian soal pertunjukan yang dalam beberapa adegan kita bikin gelap, itu kita ingin memancing cara berfikir seorang seniman atau kreator, ya akhirnya ketika kita membuat pertunjukan, menciptakan pertunjukan dan ada tunanetra yang tertarik kemudian datang kesana dan menikmati pertunjukan, maka apa yang harus di lakukan ?

Ya aksesibilitas, untuk teman – teman netra tentunya, misal : pembisik. Karena kita waktu menikmati pertunjukan, dan pertunjukan itu tanpa dialog, maka informasinya akan tidak sepenuhnya sampai, dan bahkan kita kehilangan informasi. Kecuali kalau dialog – dialognya mendominasi.
Maka disini yang dibutuhkan adalah pembisik, atau seorang relawan, voluntir yang dia akan mendiskripsikan segala adegan, segala visual di panggung kepada teman – teman disabilitas.

Nah, ini yang sebenarnya ingin saya sampaikan kesana untuk memancing cara berfikir seniman agar lebih inovatif dan lebih inklusif dalam menciptakan sebuah karya pertunjukan…” papar Yuda Wirajaya mengakhiri rekaman penjelasannya.

Tito Pangesthi Adji

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *