Budaya

Umbul Kidung Puja Mantra #2 Garuda Amurwa I Bumi Nusantara

33
×

Umbul Kidung Puja Mantra #2 Garuda Amurwa I Bumi Nusantara

Sebarkan artikel ini

Sleman // suaraglobal.co.id – Umbul Kidung Puja Mantra adalah bentuk bakti pelaku budaya terhadap negeri.

Pada kali pertama 18 Agustus 2024 lalu mengambil tema “Tirakat Kebangsaan,” pada kesempatan kedua akan digelar masih tetap di Candi Kedulan, pada hari Selasa, 26 Agustus 2025.

Ritus ini di inisiasi oleh Paseduran Anggoro Kasih bersama STAK dengan mengambil tema : “Garuda Amurwa I Bhumi Nusantara.” Pemuliaan Sang Garuda sebagai representasi kekuatan semesta penjaga tuah-tulah negeri Indonesia, penjaga Ideologi Pancasila dan ruang besar keberagaman Bhinneka Tunggal Ika.

Acara didukung 14 komunitas budaya se Jawa-Bali.

Burung Garuda melambangkan kekuatan dan semangat untuk menjunjung tinggi nama baik bangsa. Simbol kekuatan, kebesaran, kejayaan, persatuan dalam keberagaman dan cita-cita luhur sebagai bangsa yang bercahaya. Garuda sering dikaitkan dengan raja burung dengan banyak sekali kisah mitologi di Asia Tenggara Kepulauan. Misalnya :
• Garuda
Yaksa Paksi
Jaladara
• Bromodedali
• Garudha
Wisnu
Kencana
• Garudha
Jatayu
• Garudea,
Mitologi Burung Kadewatan.
Dan hampir di seluruh peradaban besar Asia Tenggara Kepulauan memiliki mitologi garuda dengan penyebutan tempatan masing-masing.

Dimasa lalu diyakini bahwa Garuda merupakan pangreksa, makluk supranatural yang bertugas menjaga kesemestaan Asia Tenggara Kepualauan. Penjaga kedaulatan negeri baik ancaman dari luar maupun dalam. Ancaman dari luar adalah jelas invasi dari negara lain. Ancaman dari dalam bisa perang saudara dan bisa juga justru dari perilaku buruk para pemimpin-pemimpin negeri itu sendiri.

Dalam tradisi leluhur dikenal Kaum Windusaka,
ini bisa perorangan bisa kelompok. Yaitu kaum yang selalu mengamati jalannya pemerintahan dan merasakan langsung gejolak sosial masyarakat.

Kaum windusaka ini memiliki tradisi ritual Memule-Sepata (pemuliaan dan kutukan) untuk para pemimpinnya. Ritual Memule (pemuliaan) dilakukan ketika para pemimpin negeri memiliki karakter Cakrawartin, seorang pemimpin dengan kebijakan holistik, mensejahterakan rakyat, memajukan negara dan menjaga keberlangsungan alam tempat berpijaknya. Cakrawartin adalah 2 (dua) konsep kepemimpinan yang menjaga rakyat dan bumi tempat negeri berpijak. Yang pertama disebut : “Prajapati”, seorang pemimpin yang beristrikan rakyat, pemimpin yang mandahulukan kesejahteraan rakyat dan kemajuan negara. Yang Kedua disebut “Bhumipati”, seorang pemimpin yang beristrikan bumi tempat negerinya berpijak. Seorang pemimpin yang sangat memperhatikan keberlangsungan alam semesta tempat dimana negerinya berpijak.

Ritual Sepata dilakukan ketika kekayaan intelektual para pemimpin negeri justru digunakan untuk menindas rakyat dan membangun benteng perlindungan dengan regulasi perundang-undangan sehingga rakyat tidak berdaya. Ketika superioritas moral dan etika kesatria utama yang seharusnya melekat dalam figure pemimpin negeri tidak lagi bisa diharap dan para justru menjadi tamak memperkaya diri sendiri. Maka para kaum windusaka, perwakilan dari beberapa wilayah akan berkumpul untuk bersama-sama melakukan Ritual Sepata, ketika para pemimpin negeri sudah tidak mampu diharapkan, maka kekuatan alam semesta dihadirkan kembali sebagai kontrol sosial yang agresif.

“Salam Jaya Nusantara Raya,
Pancasila ku puja,
Tuhan Yang Maha Esa ku puji,
Dirgahayu negeriku,
Rahayu bangsaku”

Penulis :
Nur Iswantara
(Kapala Biro Sleman).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *